Selasa, 10 Juli 2018


1.      Sejarah Pura Gaduh Tagel Siku

Pura Gaduh Tagel Siku termasuk ke dalam golongan Pura Umum. Pura Umum yang dimaksud ialah setiap umat boleh melaksanakan persembahyangan di Pura Gaduh Tagel Siku ini. Pura Gaduh Tagel Siku terletak di Banjar Gede Sempidi. Pura ini diperkirakan kurang lebih berdiri sejak tahun 1665. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanda-tanda yang terdapat dibelakang prerai (topeng wajah) dari barong landung yang ada di Pura Gaduh Tagel Siku tersebut. Di belakang prerai terdapat tulisan yang mirip dengan bentuk  morse yang tidak dapat dibaca atau dimengerti artinya.
Pura Gaduh Tagel Siku diempon oleh masyarakat Banjar Gede Sempidi. Pemangku Pura Gaduh Tagel Siku terdiri dari dua orang pemangku, yaitu pemangku gede Pura Gaduh dan pemangku Ratu Ngurah Gede. Pemangku gede Pura Gaduh sekarang merupakan pemangku generasi keempat yang bernama Jero Mangku Nyoman Kari. Sedangkan pemangku ratu Ngurah Gede merupakan pemangku generasi keempat yang bernama Jero Mangku Nyoman Suarta. Informasi tersebut penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan salah satu pengiring di Pura tersebut yang bernama I Wayan Sada yang berusia 77 tahun.
Pada awalnya hanya pelinggih-pelinggih yang tedapat di Pura Gaduh Tagel Siku. Lama-kelamaan sekitar generasi kelima barulah terdapat pelawatan berupa barong landung di Pura Gaduh Tagel Siku tersebut. Sejarah adanya barong landung menurut cerita, pada awalnya adalah hiburan atau permainan anak-anak yang terbuat dari jerami. Kemudian barong landung jerami tersebut dipentaskan secara terus-menerus di seputaran wilayah desa yang kemudian diberikan upah seperti dalam istilah sekarang disebut dengan ngalawang. Lama-kelamaan pertunjukan tersebut menjadi pertunjukan yang wajib dilaksanakan. Kemudian pada suatu ketika, kakek pemangku pura sekarang mendapat wahyu untuk mempermanenkan barong landung jerami tersebut dalam bentuk barong landung sebenarnya sebanyak satu pasang dengan menggunakan kayu yang terdapat di Pura Bukit/Pucak Sari di sangeh sebagai topeng atau prarai dilengkapi dengan upacara pasupati, mlaspas dan ngenteg linggih. Setelah selesai diupacarai, maka barong landung tersebut di­-stana-kan di Pura Gaduh Tagel Siku ini. Semakin lama, pemangku Pura Gaduh Tagel Siku pada waktu itu mendapatkan wahyu (pawuwus) untuk melaksanakan pengobatan yang dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah matetamban. Dan setelah dilaksanakan, obat yang berasal dari pura tersebut sangat mujarab dalam mengobati berbagai macam penyakit.  Lama-kelamaan pemangku pura tersebut semakin banyak memperoleh pawuwus/pawisik untuk mengambil atau dalam istilah Balinya nunas tirtha pakuluh atau air yang keluar dengan sendirinya dari rambut barong landung tersebut. Semenjak itu bertambahlah kepercayaan orang terhadap kekeramatan Pura Gaduh Tagel Siku.
Tidak beberapa lama kemudian, pemangku pura tersebut menerima pawuwus untuk membuatkan sepasang barong landung lagi yang berparas lebih muda. Sehingga sepasang barong landung baru tersebut dikatakan sebagai anaknya dua barong landung sebelumnya. Tujuan dibuatkannya dua barong landung yang baru tersebut ialah untuk memudahkan dalam pementasan atau masolah dalam pemeranan lakon cerita yang akan di-solah-kan. Semenjak itu Pura Gaduh Tagel Siku menjadi pura yang dipandang sangat keramat oleh masyarakat Desa Adat Sempidi hingga sekarang. Di samping itu, masyarakat baik dari luar ataupun dalam Desa Adat Sempidi nunas tamba atau memohon pengobatan di Pura Gaduh Tagel Siku hingga saat ini.
Upacara Piodalan Pura Gaduh Tagel Siku jatuh pada hari Saniscara Kliwon Wuku Krulut. Saat upacara piodalan biasanya seluruh umat mempersembahkan prani ataupun sesajen di pura tersebut. Kebiasaan yang berbeda dari Pura Gaduh Tagel Siku ini ialah dimana setiap satu tahun sekali tepatnya pada hari Budha Umanis Wuku Julungwangi pelawatan barong landung yang terdapat di Pura Gaduh Tagel Siku dibawa atau dipunut ke Pura Pucak Sari yang terdapat di Desa Adat Sangeh. Selain itu pelawatan barong landung yang terdapat di Pura Gaduh Tagel Siku mengikuti upacara melasti selama lima tahun sekali bersama-sama dengan Ida Bhatara yang ber-stana di Pura Pucak Sari yang terdapat di Desa Adat Sangeh.

2.      Bhatara yang Ber-stana di Pura Gaduh Tagel Siku
Pura Gaduh Tagel Siku merupakan salah satu pura umum yang terdapat di Desa Adat Sempidi. Pura ini terbagi menjadi tiga areal, yaitu jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Di areal jaba sisi pura digunakan sebagai tempat parkir kendaraan para pemedek dan pengiring dari pura tersebut. Kemudian areal jaba tengah biasanya digunakan untuk nyolahin Ida Bhatara saat ada pangiring atau pamedek yang nguntap. Nguntap ialah sebuah proses dimana pangiring atau pamedek memohon kepada pemangku pura agar Ida Bhatara masolah. Hal ini biasanya dilakukan untuk membayar sesaudan. Sesaudan merupakan suatu bentuk perjanjian yang dibuat dengan Ida Bhatara, apabila apa yang menjadi permohonan dari seorang pangiring atau pamedek telah dikabulkan maka patutlah apa yang dijanjikan olehnya dibayarkan. Sedangkan areal jeroan biasanya digunakan untuk melakukan persembahyangan ataupun upacara Dewa Yajna lainnya, seperti piodalan. Upacara Piodalan Pura Gaduh Tagel Siku jatuh pada hari Saniscara Kliwon Wuku Krulut.
Pura Gaduh Tagel Siku terdiri dari beberapa pelinggih dan gedong. Yang pertama pelinggih yang terdapat di depan candi kurung bagian dalam merupakan pelinggih Ratu Ayu Susun. Kemudian parahyangan genah Ida Ratu Ngurah Gede Sakti, Ratu Mas Ped, Ratu Mas Alit, Ratu Dedari Suprabha. Keempat nama tersebut merupakan wasta Ida Bhatara yang digunakan dalam proses pemujaan. Wasta atau nama tersebut diperoleh melalui pawuwus yang diperoleh melalui maluasan dan hal tersebut juga didukung dengan pawuwus yang diperoleh oleh Jero Mangku Wayan Rebek. Di belakang parahyangan Ida Bhatara ada pelinggih Ratu Ayu Mas Tukang. Di sampinnya merupakan pelinggih Ratu Rambut Sedana. Di depannya merupakan bale paiasan Ratu Gede Gaduh. Di belakangnya merupakan gedong stana dari Ratu Ngurah Agung Sakti. Dan pelinggih yang paling ujung merupakan stana Ratu Made.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB II YAJÑA DALAM MAHABHARATA

                                 YAJÑA DALAM MAHABHARATA I.             Pengertian dan Hakikat Yajña Menurut etimologi kata Yajña berasa...