1.
Sejarah
Pura Gaduh Tagel Siku
Pura Gaduh Tagel Siku termasuk ke dalam golongan
Pura Umum. Pura Umum yang dimaksud ialah setiap umat boleh melaksanakan
persembahyangan di Pura Gaduh Tagel Siku ini. Pura Gaduh Tagel Siku terletak di
Banjar Gede Sempidi. Pura ini diperkirakan kurang lebih berdiri sejak tahun
1665. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanda-tanda yang terdapat dibelakang prerai (topeng wajah) dari barong
landung yang ada di Pura Gaduh Tagel Siku tersebut. Di belakang prerai terdapat tulisan yang mirip
dengan bentuk morse yang tidak dapat
dibaca atau dimengerti artinya.
Pura Gaduh Tagel Siku diempon oleh masyarakat Banjar
Gede Sempidi. Pemangku Pura Gaduh Tagel Siku terdiri dari dua orang pemangku,
yaitu pemangku gede Pura Gaduh dan pemangku Ratu Ngurah Gede. Pemangku gede
Pura Gaduh sekarang merupakan pemangku generasi keempat yang bernama Jero
Mangku Nyoman Kari. Sedangkan pemangku ratu Ngurah Gede merupakan pemangku
generasi keempat yang bernama Jero Mangku Nyoman Suarta. Informasi tersebut
penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan salah satu pengiring di Pura tersebut yang bernama I Wayan Sada yang berusia
77 tahun.
Pada awalnya hanya pelinggih-pelinggih yang tedapat
di Pura Gaduh Tagel Siku. Lama-kelamaan sekitar generasi kelima barulah
terdapat pelawatan berupa barong
landung di Pura Gaduh Tagel Siku tersebut. Sejarah adanya barong landung
menurut cerita, pada awalnya adalah hiburan atau permainan anak-anak yang
terbuat dari jerami. Kemudian barong landung jerami tersebut dipentaskan secara
terus-menerus di seputaran wilayah desa yang kemudian diberikan upah seperti
dalam istilah sekarang disebut dengan ngalawang.
Lama-kelamaan pertunjukan tersebut menjadi pertunjukan yang wajib dilaksanakan.
Kemudian pada suatu ketika, kakek pemangku pura sekarang mendapat wahyu untuk
mempermanenkan barong landung jerami tersebut dalam bentuk barong landung
sebenarnya sebanyak satu pasang dengan menggunakan kayu yang terdapat di Pura
Bukit/Pucak Sari di sangeh sebagai topeng atau prarai dilengkapi dengan upacara pasupati, mlaspas dan ngenteg
linggih. Setelah selesai diupacarai, maka barong landung tersebut di-stana-kan di Pura Gaduh Tagel Siku ini.
Semakin lama, pemangku Pura Gaduh Tagel Siku pada waktu itu mendapatkan wahyu (pawuwus) untuk melaksanakan pengobatan
yang dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah matetamban. Dan setelah dilaksanakan, obat yang berasal dari pura
tersebut sangat mujarab dalam mengobati berbagai macam penyakit. Lama-kelamaan pemangku pura tersebut semakin
banyak memperoleh pawuwus/pawisik
untuk mengambil atau dalam istilah Balinya nunas
tirtha pakuluh atau air yang keluar dengan sendirinya dari rambut barong
landung tersebut. Semenjak itu bertambahlah kepercayaan orang terhadap
kekeramatan Pura Gaduh Tagel Siku.
Tidak beberapa lama kemudian, pemangku pura tersebut
menerima pawuwus untuk membuatkan
sepasang barong landung lagi yang berparas lebih muda. Sehingga sepasang barong
landung baru tersebut dikatakan sebagai anaknya dua barong landung sebelumnya.
Tujuan dibuatkannya dua barong landung yang baru tersebut ialah untuk
memudahkan dalam pementasan atau masolah
dalam pemeranan lakon cerita yang akan di-solah-kan.
Semenjak itu Pura Gaduh Tagel Siku menjadi pura yang dipandang sangat keramat
oleh masyarakat Desa Adat Sempidi hingga sekarang. Di samping itu, masyarakat
baik dari luar ataupun dalam Desa Adat Sempidi nunas tamba atau memohon pengobatan di Pura Gaduh Tagel Siku hingga
saat ini.
Upacara Piodalan
Pura Gaduh Tagel Siku jatuh pada hari Saniscara
Kliwon Wuku Krulut. Saat upacara piodalan
biasanya seluruh umat mempersembahkan prani
ataupun sesajen di pura tersebut. Kebiasaan yang berbeda dari Pura Gaduh Tagel
Siku ini ialah dimana setiap satu tahun sekali tepatnya pada hari Budha Umanis Wuku Julungwangi pelawatan
barong landung yang terdapat di Pura Gaduh Tagel Siku dibawa atau dipunut ke Pura Pucak Sari yang terdapat
di Desa Adat Sangeh. Selain itu pelawatan
barong landung yang terdapat di Pura Gaduh Tagel Siku mengikuti upacara melasti selama lima tahun sekali
bersama-sama dengan Ida Bhatara yang
ber-stana di Pura Pucak Sari yang
terdapat di Desa Adat Sangeh.
2.
Bhatara yang Ber-stana di Pura Gaduh Tagel Siku
Pura Gaduh Tagel Siku merupakan salah satu pura umum
yang terdapat di Desa Adat Sempidi. Pura ini terbagi menjadi tiga areal, yaitu jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Di areal jaba sisi pura digunakan sebagai tempat parkir kendaraan para pemedek dan pengiring dari pura
tersebut. Kemudian areal jaba tengah
biasanya digunakan untuk nyolahin Ida
Bhatara saat ada pangiring atau pamedek yang nguntap. Nguntap ialah
sebuah proses dimana pangiring atau pamedek memohon kepada pemangku pura
agar Ida Bhatara masolah. Hal ini
biasanya dilakukan untuk membayar sesaudan.
Sesaudan merupakan suatu bentuk
perjanjian yang dibuat dengan Ida Bhatara,
apabila apa yang menjadi permohonan dari seorang pangiring atau pamedek telah
dikabulkan maka patutlah apa yang dijanjikan olehnya dibayarkan. Sedangkan
areal jeroan biasanya digunakan untuk
melakukan persembahyangan ataupun upacara Dewa
Yajna lainnya, seperti piodalan. Upacara
Piodalan Pura Gaduh Tagel Siku jatuh
pada hari Saniscara Kliwon Wuku Krulut.
Pura
Gaduh Tagel Siku terdiri dari beberapa pelinggih
dan gedong. Yang pertama pelinggih yang terdapat di depan candi kurung bagian dalam merupakan pelinggih Ratu Ayu Susun. Kemudian parahyangan genah Ida Ratu Ngurah Gede
Sakti, Ratu Mas Ped, Ratu Mas Alit, Ratu Dedari Suprabha. Keempat nama
tersebut merupakan wasta Ida Bhatara yang
digunakan dalam proses pemujaan. Wasta
atau nama tersebut diperoleh melalui pawuwus
yang diperoleh melalui maluasan dan
hal tersebut juga didukung dengan pawuwus
yang diperoleh oleh Jero Mangku Wayan Rebek. Di belakang parahyangan Ida Bhatara ada pelinggih
Ratu Ayu Mas Tukang. Di sampinnya
merupakan pelinggih Ratu Rambut Sedana.
Di depannya merupakan bale paiasan Ratu
Gede Gaduh. Di belakangnya merupakan gedong
stana dari Ratu Ngurah Agung Sakti. Dan pelinggih
yang paling ujung merupakan stana Ratu
Made.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar