1.
Perkembangan
Hukum Hindu
Kehadiran
Hukum Hindu dimulai dari adanya sebuah
perdebatan di antara para tokoh agama pada saat itu. Adapun nama-nama para Maharsi sebagai penulis Hukum Hindu
diantaranya; Gautama, Baudhayana, Shanka-likhita,
Wisnu, Aphastamba, Harita, Wikana, Paitinasi, Usanama, Kasyapa, Brhraspati dan
Manu. Dengan adanya upaya penulisan atas Hukum Hindu tampak jelas kepada kita bahwa referensi Hukum Hindu telah lama
dimulai juga dengan berbagai perdebatan
dan kritik masing-masing sehingga melahirkan
beberapa aliran Hukum Hindu di antaranya:
- Aliran Yajnyawalkya oleh
Yajnyawalkya.
- Aliran Mithaksara oleh
Wijnaneswara.
- Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana.
Dari ketiga
aliran tersebut akhirnya keberadaan hukum Hindu dapat berkembang dengan pesat
khususnya di wilayah India dan sekitarnya, dua
aliran yang terakhir yang mendapat perhatian khusus dan dengan penyebarannya
yang sangat luas yaitu aliran Yajnyawalkya dan aliran Wijnaneswara (Puja, Gde.
1984:82).
Pelembagaan
aliran (Yajnyawalkya dan Wijnaneswara) yang di atas sebagai sumber Hukum Hindu
pada Dharmasastra adalah tidak diragukan lagi karena adanya ulasan-ulasan yang
diketengahkan oleh penulis-penulis
Dharmasastra sesudah Maha Rshi Manu yaitu Medhati (900 SM), Kullukabhata (120
SM), setidak-tidaknya telah membuat kemungkinan pertumbuhan sejarah Hukum Hindu
dengan mengalami perubahan prinsip sesuai dengan perkembangan zaman saat itu
dan wilayah penyebarannya seperti Burma, Muangthai sampai ke Indonesia. Penggaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia
nampak jelas pada zaman Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau
reformasi Hukum Hindu, yaitu dipakai sebagai sumber yang berisikan
ajaran-ajaran pokok Hindu yang khususnya memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu,
yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu
dimasa penyebaran Agama Hindu keseluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan penyebaran
Hindu, diturunkanlah undang-undang yang mengatur praja wilayah Nusantara dalam
bentuk terjemahan-terjemahan kedalam bahasa Jawa Kuno. Adapun aliran yang mempengaruhi Hukum Hindu di Indonesia yang paling
dominan adalah Mithaksara dan Dayabhaga.
Hukum-hukum Tata Negara dan Tata
Praja serta Hukum Pidana yang berlaku sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manawadharmasastra, hal ini kemudian dikenal sebagai
kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat
seperti yang berkembang di Indonesia,
yang khususnya dapat dilihat pada
hukum adat di Bali. Istilah-istilah
wilayah hukum dalam rangka tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada
desa praja. Desa praja adalah administrasi terkecil dan bersifat otonom dan
inilah yang diterapkan pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti,
sesana dengan prasasti-prasasti yang dapat ditemukan diberbagai daerah di seluruh
Nusantara. Lebih luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan grama, dan daerah khusus ibu kota
sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan dikenal dengan nama
pura, penggabungan atas pengaturan
semua wilayah ini dinamakan dengan istilah Negara
atau rastra. Maka dari itu hampir seluruh tatanan kenegaraan yang
dipergunakan sekarang ini bersumber pada Hukum Hindu.
Kitab Suci
adalah semacam undang-undang yang pembuatnya adalah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan
dibuat oleh manusia (apauruseya).
Hukum alam disebut dengan istilah Rta,
sama dengan Widhi yang artinya sama dengan aturan yang ditetapkan oleh
Tuhan.Dari kata itulah kemudian lahirlah istilah Sang Hyang Widhi, yang artinya
sama dengan penguasa atas hukumnya, dikuasai oleh “Rtavan” Tuhan Yang Maha
Kuasa/Ida Sang Hyang Paramakawi sebagai penciptanya. Rta adalah hukum murni
yang bersifat absolut transcendental.
Bentuk hukum alam yang dijabarkan ke
dalam amalan manusia disebut Dharma. Dharma bersifat mengatur tingkah laku manusia guna dapat mewujudkan kedamaian,
kesejahteraan dan kebahagiaan di dalam hidup. Dalam perkembangan ajaran
dharma itu, kemudian dharma dianggap bersumber pada Veda, Smrti, Sila,
Acara dan Atmanastusti. Sedangkan Rta berkembang menjadi bentuk
kepercayaan akan adanya nasib yang ditentukan oleh
Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hukum ialah peraturan-peraturan atau
ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia baik sebagai
perseorangan maupun sebagai kelompok agar tercipta suasana yang serasi, tertib
dan aman. Hukum ini ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum inilah
yang merupakan undang-undang. Undang-Undang Dasar itu mengatur pokok-pokok yang
menjadi sendi kehidupan bernegara dan dari undang-undang dasar itu dibuat
undang-undang pokoknya. Seperti halnya dengan undang-undang dasar, dalam
kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan selanjutnya
dirumuskan lebih terinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat
di dalam kitab suci itu. Tingkah laku
manusia yang baik, yang menjadi tujuan di dalam pengaturan kehidupan ini
disebut Darmika. Dharma adalah
perbuatan-perbuatan yang mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat
(dharma dharayate prajah). Untuk memperoleh kepastian tentang
kebenaran ini setiap tingkah laku harus mencerminkan kebenaran hukum (dharma), artinya tidak bertentangan dengan
undang-undang yang menguasainya. Hukum
adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari yang ditetapkan oleh penguasa, pemerintah maupun berlakunya itu
secara alamiah, yang kalau perlu dipaksakan agar peraturan tersebut dipatuhi
sebagaimana yang ditetapkan.
Hukum sebagai
peraturan hidup berfungsi membatasi kepentingan dari setiap pendukung hukum
(subyek hukum), menjamin kepentingan dan hak mereka masing-masing, serta
menciptakan pertalian-pertalian guna mempererat hubungan antara mereka dan
menentukan arah bagi terciptanya kerjasama. Tujuan yang hendak dicapai dari
adanya hukum itu adalah suatu keadaan yang damai, adil, sejahtera, dan bahagia.
Untuk tercapainya hal tersebut maka
didalam hukum itu harus mengandung sanksi yang bersifat tegas dan nyata. Hukum berfungsi sebagai pengendalian sosial
agar tercapai ketertiban. Ketertiban adalah merupakan syarat pokok dalam
masyarakat. Agar ketertiban ini bisa tercapai maka perlu adanya kepastian hukum
di dalam masyarakat, yang mampu menciptakan masyarakat yang tenang, tentram,
damai, adil, sejahtera dan bahagia. Dalam ilmu hukum dibedakan antara Statuta Lawdengan Common Law atau Natural
Law. Statuta Law
adalah hukum yang dibentuk dengan sengaja oleh penguasa, sedangkan Common Law atau Natural Law
adalah hukum alam yang ada secara alamiah. Unsur-unsur yang terpenting dalam
peraturan-peraturan hukum memuat dua hal, yaitu :
- Unsur-unsur
yang bersifat mengatur atau normatif.
- Unsur-unsur
yang bersifat memaksa atau represif.
Dalam hal ini
umat Hindu yang juga merupakan warga Negara Indonesia, mereka harus tunduk pada
dua kekuasaan hukum, yaitu:
- Hukum
yang bersumber pada perundang-undangan Negara seperti: UUD, Undang-Undang dan
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
- Hukum yang bersumber pada kitab suci,
sesuai dan menurut agamanya.
Kebutuhan akan pengetahuan tentang Hukum
Hindu dirasakan sangat penting oleh umat Hindu untuk dipelajari dan dipahami
dalam rangka melaksanakan dharma agama dan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber segala yang ada, disamping umat Hindu juga
sebagai warga Negara yang terikat oleh hukum nasional. Hukum Hindu penting untuk dipelajari karena:
- Hukum
Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Hindu di
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, khususnya pasal
29 ayat 1 dan 2, serta pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
- Untuk
memahami bahwa berlakunya hukum Hindu di Indonesia dibatasi oleh falsafah
Negara Pancasila dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
- Untuk
dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum adat (Bali) dengan hukum
agama Hindu atau hukum Hindu.
- Untuk
dapat membedakan antara adat murni dengan adat yang bersumber pada
ajaran-ajaran Agama Hindu.
Muncul dan tumbuhnya aliran-aliran hukum Hindu ini adalah merupakan fenomena sejarah perkembangan hukum Hindu yang semakin meluas dan berkembang. Bersamaan dengan itu pula maka muncullah kritikus-kritikus Hindu yang membahas tentang berbagai aspek hukum Hindu, serta bertanggung jawab atas lahirnya aliran-aliran hukum tersebut. Sebagai akibatnya timbulah berbagai masalah hukum yang relatif menimbulkan realitas kaidah-kaidah hukum Hindu diantara berbagai daerah Hindu. Dua dari aliran hukum yang muncul itu akhirnya sangat berpengaruh bagi perkembangkan hukum Hindu di Indonesia, terutama aliran Mitaksara, dengan berbagai pengadaptasiannya. Di Indonesia kita mewarisi berbagai macam rontal dengan berbagai nama, seperti: Usana, Gajahmada, Sarasamuscaya, Kutara Manawa, Agama,Adigama, Purwadigama, Krtapati, Krtasima. Di antara rontal-rontal itu yang memuat tentang sasana adalah: Rajasasana, Siwasasana, Putrasasana, Rsisasana dan yang lainnya. Semuanya itu adalah merupakan gubahan yang sebagian bersifat penyalinan dan sebagian lagi bersifat pengembangan. Penting untuk kita ketahui sumber hukum dalam arti sejarah adalah adanya Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara-paswara yang dipergunakan sebagai yurisprudiensi hukum Hindu yang dilembagakan oleh para raja-raja Hindu. Hal semacam inilah yang nampak pada kita yang secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai hal mengenai sumber-sumber hukum Hindu berdasarkan atas sejarahnya.
2.
Sumber-Sumber
Hukum Hindu
Menurut
para Maharsi sumber Hukum Hindu berasal dari Veda Sruti dan Veda Smrti. Veda
Sruti adalah kitab suci Hindu yang berasal dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang didengar
langsung oleh para Maharsi, yang isinya patut dipedomani dan dilaksanakan oleh
umat sedharma. Veda Smrti adalah
kitab suci Hindu yang ditulis oleh para Maharsi berdasarkan ingatan yang bersumber dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang isinya patut juga dipedomani dan dilaksanakan
oleh umat sedharma.
Veda
Smrti sebagai sumber Hukum Hindu dapat kita kelompokkan
menjadi dua kelompok yaitu :
- Kelompok
Vedangga/Batang tubuh Veda (Siksa, Wyakarana, Chanda, Nirukta, Jyotisa dan
Kalpa).
- Kelompok
UpaVeda /Veda tambahan (Itihasa, Purana, Arthasastra, Ayur Veda dan Gandharwa Veda).
Bagian
terpenting dari kelompok Vedangga adalah Kalpa yang padat dengan isi
Hukum Hindu, yaitu Dharmasastra, sumber hukum ini membahas aspek kehidupan
manusia yang disebut dharma. Sedangkan sumber
hukum Hindu yang lain yang juga menjadi sumber Hukum Hindu adalah dapat
dilihat dari berbagai kitab-kitab lain yang telah ditulis yang bersumber pada
Veda diantaranya:
- Kitab
Sarasamuscaya
- Kitab
Suara Jambu
- Kitab
Siwasasana
- Kitab
Purwadigama
- Kitab
Purwagama
- Kitab
Devagama (Kerthopati)
- Kitab
Kutara Manawa
- Kitab
Adigama
- Kitab
Kerthasima
- Kitab
Kerthasima Subak
- Kitab
Paswara
Bidang-bidang
Hukum Hindu sesuai dengan sumber Hukum
Hindu yang paling terkenal adalah Manawa
Dharmasastra yang mengambil
sumber ajaran Dharmasastra yang paling
tua, adapun pembagian terdiri dari:
- Bidang
Hukum Keagamaan, bidang ini banyak memuat ajaran-ajaran
yang mengatur tentang tata cara keagamaan yaitu menyangkut tentang antara lain;
a. Bahwa
semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatu hukum yang disebut rta
atau dharma.
b. Ajaran-ajaran
yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang semuanya mengandung konsekuensi
atau akibat (sanksi).
c. Tiap-tiap
ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan dengan zaman atau waktu
dan dimana tempat dan kedudukan hukum itu dilaksanakan, dan absolut berarti
mengikat dan wajib hukumnya dilaksanakan.
d. Pengertian warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.
2. Bidang Hukum Kemasyarakatan, bidang ini banyak memuat tentang aturan atau tata cara hidup bermasyarakat satu dengan yang lainnya, atau sosial. Dalam bidang ini banyak diatur tentang konsekuensi atau akibat dari sebuah pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal dengan hukum perdata dan pidana. Lembaga yang memegang peranan penting yang mengurusi tata kemasyarakatan adalah Badan Legislatif, yang menurut Hukum Hindu adalah Parisadha. Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan masalah dengan cara pendekatan perdamaian, dan jika tidak berhasil maka ke pengadilan.
3. Bidang Hukum Tata Kenegaraan, bidang ini banyak memuat tentang tata cara bernegara, dimana terjalinnya hubungan warga masyarakat dengan negara sebagai pengatur tata pemerintahan yang juga menyangkut hubungan dengan bidang keagamaan. Disamping sistem pembagian wilayah administrasi dalam suatu negara, Hukum Hindu ini juga mengatur sistem masyarakat menjadi kelompok-kelompok hukum yang disebut; Warna, Kula, Gotra, Ghana, Puga, dan Sreni, pembagian ini tidak bersifat kaku karena dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kekuasaan
Yudikatif diletakkan pada tangan seorang raja atau kepala negara,
yang bertugas, memutuskan semua perkara
yang timbul pada masyarakat. Raja dibantu
oleh Devan Brahmana yang merupakan Majelis Hakim Ahli, baik sebagai lembaga
yang berdiri sendiri maupun sebagai pembantu pemerintah didalam memutuskan
perkara dalam sidang pengadilan (dharma
sabha), pengadilan biasa (dharmaastha), pengadilan tinggi (pradiwaka) dan pengadilan istimewa.
Ketentuan
mengenai Veda sebagai sumber Hukum Hindu dinyatakan dengan tegas di dalam
berbagai jenis kitab suci veda. Sruti adalah merupakan sumber dari segala
sumber hukum. Smrti bersumber pada kitab Sruti. Baik Sruti maupun Smrti
keduanya adalah merupakan sumber Hukum Hindu. Kedudukan Smrti sebagai sumber
Hukum Hindu sama kuatnya dengan Sruti. Smrti
sebagai sumber Hukum Hindu lebih populer dengan istilah Manusmrti atau Dharmasastra.
Dharmasastra dinyatakan sebagai kitab Hukum Hindu karena didalamnya memuat banyak peraturan-peraturan yang bersifat
mendasar yang berfungsi untuk mengatur dan menentukan sanksi bila diperlukan.
Di dalam kitab Dharmasastra termuat serangkaian materi hukum dasar yang dapat
dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam rangka mencapai tujuan hidup “catur
purusartha” yang utama. Setiap pelanggaran baik itu merupakan delik biasa atau
delik adat, tindak pidana, dan yang lainnya semuanya itu diancam hukuman. Sifat
ancamannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat yaitu ”hukuman mati”.
Ancaman hukuman mati sebagai hukuman berat berlaku terhadap siapa saja yang
melakukan tindak kejahatan. Manawa
Dharmasastra atau Manusmrti adalah kitab hukum yang telah tersusun
secara teratur, dan sistematis. Kitab ini terbagi
menjadi dua belas (12) bab atau adhyaya.
Bila kita mempelajari kitab-kitab Hukum Hindu maka banyak kita menemukan
pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan titel hukum. Hal ini menunjukkan
bahwa Hukum Hindu mengalami proses perkembangan.
Adapun
pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam Hukum Hindu, antara lain: Kitab Hukum Hindu yang pertama dikenal
adalah Dharmasutra. Ada tiga penulis yang terkenal terkait dengan
keberadaan kitab Dharmasutra, diantaranya adalah;
2. Apastamba adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih menekankan pembahasan tentang pokok-pokok materi wyawaharapada dengan beberapa masalah yang belum dibahas dalam kitab Gautama, seperti; mengenai hukum perzinahan, hukuman karena membunuh diri, hukuman karena melanggar dharma, hukum yang timbul karena sengketa antara buruh dengan majikan, dan hukum yang timbul karena penyalahgunaan hak milik.
3. Baudhayana adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih menekankan pembahasan tentang pokok-pokok hukum seperti; hukum mengenai bela diri, penghukuman karena seorang brahmana, penghukuman atas golongan rendah membunuh brahmana, dan penghukuman atas pembunuhan yang dilakukan terhadap ternak orang lain.
Dharmasastra
adalah kitab hukum Hindu selain Dharmasutra. Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra yang patut
kita ketahui karya sastranya dibidang hukum Hindu, seperti; Wisnu, Manu, dan Yajnawalkya. Manu adalah penulis kitab Dharmasastra yang terkenal. Manu sebagai penulis
Dharmasastra, berbicara tentang Hukum Hindu untuk mewakili karyanya sendiri. Kitab Dharmasastra karya Manu, menjadi
sumber Hukum Hindu berlaku dan memiliki
pengaruh yang sangat luas termasuk di Indonesia. Hal ini dapat kita ketahui
dari pokok-pokok ajarannya yang banyak
kita jumpai dalam berbagai lontar yang ada seperti di Bali. Sedangkan Yajnawalkya menjadi terkenal di bidang
penulisan dharmasastra sebagai sumber Hukum Hindu, karena mewakili salah satu mahzab hukum yang berkembang dalam Hukum
Hindu. Diantara mahzab-mahzab tersebut adalah; Mitaksara, Dayabhaga, dan Yajnawalkya. Menurut kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu, keberadaan titel hukum atau wyawaharapada dibedakan jenisnya
menjadi delapan belas (18), antara lain;
Dalam kitab Dharmasastra, VIII.49. Manu menyatakan bahwa seorang kreditur dapat menuntut atau memperoleh piutangnya dari debitur melalui persuasif moril, keputusan pengadilan, melalui upaya akal, melalui cara puasa di pintu masuk rumah debitur, dan yang akhirnya dengan cara kekerasan. Yang terpenting dari hukum utang piutang itu adalah ketentuan mengenai kebolehan menaikkan bunga sebagai hak yang dapat dituntut oleh kreditur atas piutang yang diberikan kepada debitur. Selanjutnya disebutkan bahwa hutang seorang debitur jatuh kepada ahli warisnya. Apabila debitur meninggal dunia sebelum sempat melunasi hutangnya, maka ahli waris bersangkutan berkewajiban melunasinya (Dharmasastra, XII.40).
2. Niksepa adalah hukum mengenai deposito dan perjanjian.
Rsi Gautama mulai mengajarkan tentang hukum yang berkaitan dengan Niksepa (deposito). Ajarannya diikuti oleh Rsi Narada dan Rsi Yajnawalkya, dengan pembahasan yang lebih mendalam dan meluas. Baik Rsi Narada maupun Rsi Yajnawalkya membedakan ajaran hukum Niksepa menjadi beberapa jenis bentuk deposito, diantaranya adalah; Yachita, Ayachita, Anwahita, dan Nyasa.
3. Aswamiwikrya adalah tentang penjualan barang tidak bertuan.
Penjelasan
tentang permasalahan hukum penjualan barang
tidak bertuan tidak dijumpai di dalam kitab hukum karya Rsi Gautama.
Didalam kitab beliau hanya terdapat
adanya klausal yang mengemukakan dan menegaskan bahwa penadah atau
penerima barang curian dapat dihukum (Dharmasutra, XII.50). Dengan demikian,
orang yang membeli barang curian dapat dihukum. Pernyataan ini dipertegas dan
diperluas kembali oleh Rsi Yajnawalkya, yang dalam bukunya menyebutkan bahwa;
baik pembeli maupun penjualnya dapat dituntut melalui hukum. Oleh karena itu,
ia harus dapat mmbuktikan bahwa benda itu adalah haknya yang sah (Dharmasastra,
II.168-174). Ini berarti, bahwa saat itu telah ada dan dibuatkan aturan tentang
pemanfaatan dan pembuktian bahwa barang itu bertuan atau barang tidak bertuan.
Persekutuan antara firma dalam bidang hukum dagang menurut Hukum Hindu baru pertama kali kita jumpai dalam kitab Dharmasastra karya Rsi Wisnu. Premi atau keuntungan atau upah yang diterima oleh para anggota harus berbanding sama menurut aturan. Berdasarkan pertumbuhan kesadaran hukum masyarakat, lembaga itu mungkin sudah berkembang sebelum Rsi Manu dan mencapai bentuknya pada zamannya Rsi Manu. Ajaran ini selanjutnya dikembangkan oleh Rsi Yajnawalkya, Rsi Narada, dan Rsi Brhaspati.
5. Dattasyanapakarma adalah ketentuan mengenai hibah dan pemberian.
Dana atau pemberian baik berdasarkan agama maupun tidak dikenal dengan titel ”Datta Pradanika” atau juga disebut Syanapakarma, yang artinya; menghadiahkan atau penuntutan atas pemberian. Menurut Agama Hindu berbuat dana merupakan kewajiban yang terpuji dan diatur berdasarkan ajaran agama dan kepercayaan masyarakat. Bentuk pemberian yang pertama kita jumpai adalah bentuk daksina, yaitu semacam pemberian sebagai upah kepada Pendeta (brahmana) yang melakukan upacara untuk orang lain. Besarnya pemberian tidak sama, yang terpenting adalah nilai pemberian itu.
6. Wetanadana yaitu hukum mengenai tidak membayar upah.
7. Samwidwyatikarma adalah hukum mengenai tidak melakukan tugas yang diperjanjikan.
8. Krayawikrayanusaya artinya pelaksanaan jual beli.
9. Swamipalawiwada artinya perselisihan antara buruh dengan majikan.
10. Simawiwada artinya perselisihan mengenai perbatasan
11. Waparusya adalah mengenai penghinaan.
12. Dandaparusya artinya penyerangan dan kekerasan.
13. Steya adalah hukum mengenai pencurian.
14. Sahasa artinya mengenai kekerasan.
15. Stripundharma adalah hukum mengenai kewajiban suami-istri.
16. Stridharma artinya hukum mengenai kewajiban seorang istri.
17. Wibhaga adalah hukum pembagian waris.
18. Dyutasamahwya adalah hukum perjudian dan pertaruhan (Lestawi, I Nengah dan Kusuma, I Made Wirahadi. 2014 : 55-56).
Selanjutnya
sloka kitab hukum Manawa Dharmasastra II.
6 menjelaskan bahwa; Seluruh Veda
merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu) kemudian barulah Smrti di
samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Veda
serta kemudian acara tradisi dari orang-orang suci dan akhirnya atmanatusti
“rasa puas diri sendiri”. Berdasarkan sloka tersebut di atas kita dapat
mengenal sumber-sumber Hukum Hindu menurut urut-urutannya adalah sebagaimana
istilah berikut ;
2) Veda Smrti.
3) Sila.
4) Acara (Sadacara).
5) Atmanastusti.
Kitab Manawa Dharmasatra,
II.10 menjelaskan bahwa; sesungguhnya Sruti adalah Veda demikian pula Smrti itu
adalah dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan kebenarannya dalam hal
apapun yang karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari Agama
Hindu “Dharma”. Sruti dan Smrti adalah
sumber Hukum Hindu, dan merupakan dasar utama yang kebenarannya tidak boleh
dibantah. Kedudukan Menawa Dharmasastra II.10 dan 6, merupakan dasar yang patut
dipegang teguh dalam hal kemungkinan timbulnya perbedaan pengertian mengenai
panafsiran hukum yang terdapat didalam berbagai kitab agama, maka yang pertama
lebih penting dari yang berikutnya. Kitab
Manawa Dharmasastra II sloka 12 ini lebih menyederhanakan sloka 6, dengan meniadakan Sila, karena sila dan sadacara
dipandang memiliki arti yang sama dengan kebiasaan. Sila artinya
kebiasaan sedangkan sadacara artinya tradisi. Tradisi dan kebiasaan
termasuk dalam kebiasaan pula.
Di dalam kitab
suci Veda kita sering menjumpai beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan istilah hukum
yang abadi, seperti Rta, Wrata dan dharman, di samping
kebiasaan-kebiasaan abadi yang juga merupakan hukum yang bersumber pada Veda
yaitu dharma atau dharman. Menurut sistim Hukum Hindu, para penulis hukum Hindu
menyimpulkan bahwa ada empat macam masalah yang mencakup hukum itu, antara
lain:
2. Mengenai asal-usul tertib sosial.
3. Mengenai wewenang penguasa yang berkuasa yang juga menyangkut kopetensi relatif.
4. Mengenai kedudukan penguasa rohani dan hubungannya dengan penguasa negara dengan menonjolkan sifat-sifat imunitas kedua jenis penguasa itu, yaitu Brahmana dan Raja atau Presiden sebagai kepala negara.
Terkait dengan
sifat kekuasaan hukum atas kehidupan
seseorang telah dikembangkan secara sistematis
pada zaman Veda. Pemmbagian kelompok kerja berdasarkan spesialisasi telah
pula mulai dikemas sejak zaman Veda dengan memperkenalkan konsep masyarakat ideal
dengan mengelompokkan anggota-anggota masyarakat berdasarkan kelompok-kelompok
ahli yang lebih dikenal dengan istilah “catur varna” yang kemudian berkembang
menjadi konsep “kasta”. Kejadian seperti ini tentu tidak terlepas
dari hegemoni kaum Brahmana pada zaman Brahmana. Hal semacam ini perlu kita
renungkan dan sikapi dengan bijak. Konsep
“kasta” inilah yang kemudian merombak sikap pandangan para penulis terdahulu
“warna” menjadi bentuk kelompok berdasarkan kelahiran “geneotis atau jati”, dan
sekaligus mengaburkan arti-istilah fungsionalisasinya menjadi status sosial
berdasarkan keturunan. Perubahan pandangan seperti itu nampaknya tidak
dapat dihindari lagi, karena disamping masalah komunikasi yang sulit, juga
kesulitan bahasa telah memungkinkan timbulnya golongan elit tertentu untuk
menggunakan fungsinya lebih menonjolkan arti dan istilah jati (kelahiran)
menjadi konsep-konsep ‘kasta’ yang
menyempit dan kaku. Dengan demikian akhirnya munculah konsep-konsep sosial baru
yang merubah pola berpikir orde sosial berdasarkan Veda menjadi orde sosial
berdasarkan versi brahmanaisme.
Salah
satu sumber hukum yang merupakan landasan ideal dari model-model pembentukan
lembaga sosial berdasarkan Veda, bersumber pada kitab suci Rg Veda mandala X
yang dikenal dengan istilah “Purusa Sukta”. Dari ayat kitab
ini kita dapat mengenal fungsionalisasi sosial masyarakat yang dikelompokkan
menjadi 4 (empat) macam kelompok kerja yang profesional, antara lain: Brahmana,
Ksatria, Wesya dan Sudra. Uraian tentang konsep social ini ternyata diulangi
lagi didalam kitab Atharwa Veda dengan bermacam-macam implikasinya serta memasukkan
teori-teori baru yang bersendikan ajaran teokrasi secara lebih intensif dan
extensif. Melalui kemajuan teori baru berdasarkan konsep-konsep teokrasi tampak
kepada kita adanya tiga jalur pertumbuhan dan perkembangan ideology yang akan
merubah nilai-nilai sosial dalam sejarah manusia dan kemanusiaan (Hindu),
yaitu:
2) Pemahaman tentang asal-usul penguasa negara.
3) Penegasan tentang hubungan antara dua jenis kekuasaan di dalam negara yaitu kekuasaan kelompok agama dan penguasa negara.
Ciri pokok dari
pada pertumbuhan pemahaman orde sosial itu ialah munculnya kesadaran-kesadaran
baru yang menyadari kekuasaan hukum terhadap individu serta kesatuan-kesatuan
unit sosial masyarakat yang pengaturan selanjutnya didasarkan atas kehendak
Tuhan. Kehendak beliau tersebut dituangkan dalam bentuk hukum abadi dan
kekuasaan adat kebiasaan dari orang-orang suci. Pandangan tentang nilai-nilai
sosial mengalami perubahan secara evolusi oleh kelompok kedua penguasa itu
dalam wujud hukum yang disebut “dharma”. Tentang asal-usul penguasa negara
sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci Veda, yang disimpulkan dari ayat Purusa
Sukta X.90 dan Rg Veda X.173, melukiskan bagaimana penyair itu berdoa agar raja
atau penguasa untuk menertibkan penduduk negara dan membayar pajak untuk negara.
Untuk memberikan bentuk kekuatan kepada raja atau penguasa dalam negara
teokrasi, raja dipersamakan sebagaimana halnya Deva Indra terhadap deva-deva
lainnya. Demikian pulalah halnya raja terhadap penduduk negara sehingga raja
dianggap sekutu dari Deva Indra (Indrasakha). Pada umumnya lembaga kerajaan
yang bersifat teokrasi itu tidaklah statis, karena sebagai lembaga penguasa.
Dalam bentuk negara kerajaan itu sifat-sifat teokrasinya lebih menonjol dari
pada bentuk negara republik. Raja
sebagai pembuat hukum atau bertindak sebagai yudikatif. Walaupun kedudukan
raja sedemikian penting tetapi kecenderungan untuk pembagian kekuasaan telah
nampak pula dalam kitab Veda dengan tidak mengharuskan raja secara pribadi
memutuskan segala macam sengketa yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu timbulah lembaga yudikatif dalam bentuk
Parisada dan kemudian pada bentuk Peradilan Kerta, ini menunjukkan
bagaimana evolusi sejarah pertumbuhan Hukum Hindu secara umum. Peninjauan
tentang sumber Hukum Hindu dapat kita lihat dalam berbagai segi. Peninjauan
seperti ini dibenarkan berdasarkan ilmu hukum, mengingat pengertian sumber
hukum itu sendiri belum ada persamaan secara utuh dan menyeluruh.
L. Oppenheim
mengemukakan bahwa masalah sumber hukum itu dilihatnya dari arti kata, yakni
kata sumber yang oleh beliau menyebutnya “source”. Menurut Oppenheim di dalam
bukunya yang berjudul International Law A Treatire I, mengemukakan bahwa
sumber yang dimaksud adalah asal darimana kaedah-kaedah itu bertumbuhan dan
berkembang. Pengertian ini dibandingkan sebagai mata air yang mempunyai
berbagai anak sungai dari mana air-air sungai itu berasal dan akhirnya sampai
ke tempat tujuan (Puja, Gde. 1984:79). Selanjutnya berdasarkan perkembangan
ilmu pengetahuan, peninjauan sumber Hukum Hindu dapat dilakukan melalui
berbagai macam kemungkinan antara lain:
Sumber
hukum dalam arti sejarah adalah peninjauan
dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan
meninjau pertumbuhan suatu bangsa terutama di bidang politik, sosial,
kebudayaan, hukum dan lain-lain, termasuk berbagai lembaga negara. Bukti-bukti pengaruh hukum Hindu di
Indonesia dapat ditemukan dalam catatan-catatan, seperti Siwasasana dan Kuttaramanawa.
Sumber Hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber Hukum Hindu yang
dipergunakan oleh para ahli Hindulogi dalam peninjauan dan penulisannya
mengenai pertumbuhan serta kejadian Hukum Hindu itu terutama dalam rangka
pengamatan dan peninjauan masalah aspek politik, filosofis, sosiologi,
kebudayaan dan hukumnya sampai pada bentuk materiil yang tampak berlaku pada
satu masa dan tempat tertentu. Peninjauan Hukum Hindu secara historis
ditujukan pada penelitian data mengenai berlakunya
kaidah-kaidah hukum berdasarkan dokumen tertulis yang ada. Penekanan disini
harus pada dokumen tertulis karena
pengertian sejarah dan bukan sejarah adalah terbatas, pada bukti tertulis.
Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis (Pra Sejarah), tidak
bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang didalam Hukum
Hindu disebut Acara. Kemungkinan kaidah-kaidah yang berasal dari pra-sejarah
ditulis dalam zaman sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses pertumbuhan
sejarah hukum dari satu phase ke phase yang baru. Dari pengertian
sumber hukum tertulis, peninjauan sumber Hukum Hindu dapat dilihat berdasarkan
penemuan dokumen yang dapat kita baca dengan melihat secara umum dan
otensitasnya. Menurut bukti-bukti sejarah, dokumen
tertua yang memuat pokok-pokok Hukum Hindu, untuk pertama kalinya kita jumpai
di dalam Veda yang dikenal dengan nama Sruti. Kitab Veda Sruti tertua
adalah kitab Reg Veda yang diduga mulai
ada pada tahun 2000 SM. Kita harus bisa membedakan antara phase turunnya wahyu
(Sruti) dengan phase penulisannya. Saat
penulisannya itu merupakan phase baru dalam sejarah Hukum Hindu dan
diperkirakan telah dimulai pada abad ke X SM. Berdasarkan penemuan huruf
yang mulai dikenal dan banyak dipakai pada zaman itu. Sejak tahun 2000 SM –
1000 SM, ajaran hukum yang ada masih bersifat tradisional dimana isi seluruh
kitab suci Veda itu disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi
yang baru. Sementara itu jumlah kaidah-kaidah itu berkembang dan bertambah
banyak. Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula timbul dan berkembang pada jaman Smrti.
Dalam zaman ini terdapat Yajur Veda,
Atharwa Veda dan Sama Veda. Kemudian dikembangkan
pula kitab Brahmana dan Aranyaka. Semua kitab-kitab yang dimaksud adalah
merupakan dokumen tertulis yang memuat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada
zaman itu. Phase berikutnya dalam
sejarah pertumbuhan sumber Hukum Hindu adalah adanya kitab Dharmasastra yang merupakan kitab undang-undang murni bila dibandingkan dengan kitab Sruti.
Kitab ini dikenal dengan nama kitab smrti, yang memiliki jenis-jenis buku dalam
jumlah yang banyak dan mulai berkembang sejak abad ke X SM. Di dalam buku-buku
ini pula kita dapat mengetahui keterangan tentang berbagai macam cabang ilmu
dalam bentuk kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan sebagai landasan pola pikir
dan berbuat dalam kehidupan ini. Kitab smrti ini dikelompokkan menjadi enam jenis
yang dikenal dengan istilah Sad Vedangga. Dalam kaitannya dengan hukum yang terpenting dari Sad Vedangga
tersebut adalah dharma sastra (Ilmu Hukum). Kitab dharma sastra menurut
bentuk penulisannya dapat dibedakan menjadi dua macam, antara lain:
1. Sutra,
yaitu bentuk penulisan yang amat singkat yakni semacam aphorisme.
2. Sastra,
yaitu bentuk penulisan yang berupa uraian-uraian panjang atau lebih terinci.
Di
antara kedua bentuk tersebut diatas, bentuk
sutra dipandang lebih tua waktu penulisannya yakni disekitar kurang lebih
tahun 1000 SM. Sedangkan bentuk sastra kemungkinannya ditulis disekitar abad ke
VI SM. Kitab smrti merupakan sumber hukum baru yang menambahkan jumlah kaidah-kaidah
hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindu. Disamping kitab-kitab tersebut diatas
yang dipergunakan sebagai sumber hukum Hindu, juga diberlakukan adat-istiadat. Hal
ini merupakan langkah maju dalam perkembangan Hukum Hindu.
Menurut
catatan sejarah perkembangan Hukum Hindu, periode berlakunya hukum tersebut pun
dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:
1. Pada
zaman Krta Yuga, berlaku
Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis
oleh Manu.
2. Pada
zaman Treta Yuga, berlaku
Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis
oleh Gautama.
3. Pada
zaman Dwapara Yuga, berlaku
Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra yang ditulis
oleh Samkhalikhita.
4. Pada
zaman Kali Yuga, berlaku
Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis
oleh Parasara.
Keempat
bentuk kitab Dharmasastra di atas, sangat penting kita ketahui dalam
hubungannya dengan perjalanan sejarah Hukum Hindu. Hal ini patut kita camkan
mengingat Agama Hindu bersifat universal, yang berarti kitab Manawa Dharmasatra
yang berlaku pada zaman Kali Yuga juga dapat berlaku pada zaman Trata Yuga, demikian
juga sebaliknya.
Penggunaan
sumber hukum ini biasanya dipergunakan oleh para sosiolog dalam menyusun
thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat
dari keadaan ekonomi masyarakat pada zaman-zaman sebelumnya. Sumber hukum
ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ditunjang oleh data sejarah
dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak bersifat murni berdasarkan ilmu sosial semata
melainkan memerlukan ilmu bantu lainnya. Masyarakat adalah kelompok manusia
pada daerah tertentu yang mempunyai hubungan, baik hubungan agama, budaya,
bahasa, suku, darah dan yang lainnya. Hubungan diantara mereka telah mempunyai
aturan yang melembaga, baik berdasarkan tradisi maupun pengaruh-pengaruh baru
lainnya yang dating kemudian. Pemikiran tentang berbagai kaidah hukum tidak
terlepas dari pandangan-pandangan masyarakat setempat. Terlebih pada umumnya
hukum itu bersifat dinamis, maka peranan para pemikir, orang-orang tua, lembaga
desa, Parisada dan lembaga yang lainnya turut juga mewarnai perkembangan hukum yang
dimaksud. Didalam mempelajari data-data tertentu yang bersumber pada kitab
Veda, kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan sebagai berikut:
“Idanim dharma pramananya ha, wedo’khilo dharmamulam
smrtisile ca tadwidam, acarassaiwa sadhunam atmanastustirewa ca”.
Terjemahan:
Seluruh
pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada dharma, kemudian
adat-istiadat, dan lalu tingkah-laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang
mendalami Veda, juga kebiasaan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri-sendiri
(Manawa Dharmasastra, II.6).
Kitab
suci tersebut di atas secara tegas menyatakan bahwa, sumber hukum (dharma)
bukan saja hanya kitab-kitab sruti dan smrti, melainkan juga termasuk
sila (tingkah laku orang-orang beradab), acara (adat-istiadat
atau kebiasaan setempat) dan atmanastusti yaitu segala sesuatu yang
memberikan kebahagiaan pada diri sendiri. Oleh karena aspek sosiologi tidak
hanya sebatas mempelajari bentuk masyarakat tetapi juga kebiasaan dan moral
yang berkembang dalam masyarakat setempat. Sesungguhnya masih banyak lagi
sloka-sloka suci Veda yang menekankan betapa pentingnya Veda, baik sebagai ilmu
maupun sebagai alat di dalam membina masayarakat. Karena itu Veda bersifat obligator baik untuk dihayati, diamalkan, dan maupun sebagai ilmu. Inilah
yang menjadi hakikat dan tujuan dari pada menyebaran Veda itu, seiring dengan
tuntutan memperoleh pengetahuan dewasa ini yakni dengan mengingat, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta atau mengamati, menanya,
mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta sesuai dengan tatanan yang berlaku.
Yang
dimaksud dengan sumber hukum dalam arti
formal menurut Mr.J.L.Van Aveldoorm adalah sumber hukum yang berdasarkan
bentuknya dapat menimbulkan hukum positif, artinya sumber hukum yang dibuat
oleh badan atau lembaga yang berwenang. Yang termasuk sumber hukum dalam arti formal dan bersifat pasti yaitu; Undang-undang, Kebiasaan dan adat, serta Traktat
(Puja, Gde. 1984:85). Di samping sumber-sumber hukum yang disebutkan di atas,
ada juga penunjukan sumber hukum dengan menambahkan kata yurisprudensi dan pendapat
para ahli hukum. Dengan demikian dapat kita lihat susunan sumber hukum dalam
arti formil sebagai berikut:
a. Undang-undang.
b. Kebiasaan
dan adat.
c. Traktat
d. Yurisprudensi
e. Pendapat
ahli hukum yang terkenal.
Sistematika
susunan sumber hukum seperti tersebut di atas ini, dianut pula dalam hukum
Internasional sebagai tertera dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional
dengan menambahkan azas-azas umum hukum yang diakui oleh berbagai bangsa yang
beradab sebagai sumber hukum juga. Dengan demikian, terdapat susunan hukum
sebagai berikut:
a. Traktat
Internasional yang kedudukannya sama dengan undang-undang terhadap negara itu.
b. Kebiasaan
Internasional.
c. Azas-azas
hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
d. Keputusan-keputusan
hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara.
e. Ajaran-ajaran
yang dipublikasikan oleh para ahli dari berbagai negara hukum tersebut sebagai
alat tambahan dalam bidang pengetahuan hukum.
Sistem
dan azas yang dipergunakan mengenai sumber hukum terdapat pula dalam kitab
Veda, sebagaimana tersurat dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa “seluruh
pustaka suci Veda (sruti) merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama
Hindu), kemudian barulah smrti di samping sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik
dari orang-orang yang menghayati Veda) dan kemudian acara (tradisi-tradisi dari
orang-orang suci) serta akhirnya atmanastuti yakni rasa puas diri sendiri”.
Bila
keberadaan kitab-kitab ini kita bandingkan dengan kitab-kitab
perundang-undangan, maka sruti adalah undang-undang
dasar itu, karena sruti merupakan sumber atau asal dari segala aturan
(sumber dari segala sumber hukum). Sedangkan smrti merupakan peraturan-peraturan
atau ajaran-ajaran yang dibuat bersumberkan pada sruti. Oleh karena itu, dalam
perundang-undangan smrti disamakan
dengan undang-undang, baik undang-undang organik maupun undang-undang
anorganik. Sila merupakan tingkah laku orang-orang beradab, dalam kaitannya
dengan hukum, sila adalah menjadikan
tingkah laku orang-orang beradab sebagai contoh dalam kehidupan. Sedangkan acarya adalah adat-istiadat yang hidup dalam
masyarakat yang merupakan hukum positif. Atmanastuti adalah rasa puas pada diri.
Rasa puas merupakan ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia. Oleh
karena itu, rasa puas tersebut harus diukur atas dasar kepentingan publik.
Penunjukan rasa puas secara umum tidak dapat dibuat tanpa pelembagaannya. Veda
mempergunakan sistem kemajelisan sebagai dasar ukuran untuk dapat mewujudkan
rasa puas tersebut. Majelis Parisada
adalah majelis para ahli yang disebut para wipra (brahmana) ahli dari berbagai
cabang ilmu pengetahuan.
Filsafat
merupakan dasar pembentukan kaidah-kaidah hukum itu sendiri. Sumber hukum ini
dapat bersumber dari banyak sumber dan luas, karena isi sumber hukum ini meliputi seluruh proses pembentukan sumber hukum sejak
zaman dahulu hingga sekarang. Daya mengikat hukum ini terhadap para
anggotanya tergantung pada sifat dan bentuk kaidah-kaidah hukum ini, apakah
bersifat normatif. Sumber hukum dalam
arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian
yang tak terpisahkan atau integral dari agama. Filsafat adalah ilmu pikir,
yang merupakan fleksibilitas rasional ke dalam sifat kebenaran, dan memberikan
pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang kurang
tampak dari kehidupan ini, dimana ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan
pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian.
Berfilsafat
bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui
masalah-masalah transendental ketika ia berada dalam perenungan tentang hakikat
kehidupan itu sendiri. Filsafat
membimbing manusia tidak saja menjadi pandai tetapi juga menuntun manusia
untuk mencapai tujuan hidup, yaitu jagadhita dan moksa. Untuk dapat hidup bahagia,
baik di dunia maupun di akhirat diperlukan adanya keharmonisan hidup. Hal ini,
bisa diajarkan dan diberikan filsafat. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu
ilmu filsafat Hindu menegaskan sistem dan metode pelaksanaannya sebagai
berikut:
a.
Harus berdasarkan pada dharma
b. Harus
diusahakan melalui keilmuan (Jnana)
c. Hukum
didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)
d. Harus
didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan pengendalian; pikiran,
ucapan, dan perilaku
e. Harus
ditebus dengan usaha prayascita atau penyucian (Puja, Gde. 1984:84).
Filsafat
Hindu mengajarkan sistem dan metode penyampaian buah pikiran. Logika dan pragmatisme guna mendapatkan
kebenaran ilmu (pramana) yang disebut satya.
Kita harus menyadari bahwa hukum itu menyangkut berbagai bidang, oleh sebab
itu, filsafat sangat diperlukan untuk menyusun hipotesis hukum. Bahkan boleh
dikatakan filsafat menduduki kedudukan yang amat penting di dalam ilmu hukum
yang disebut ”filsafat hukum”. Agama bukan hanya mengajarkan bagaimana manusia
menyembah Tuhan, tetapi juga memuat tentang; filsafat, hukum, dan lain-lain. Manawa Dharmasastra adalah kitab suci Agama
Hindu, yang memuat berbagai masalah hukum dilihat dari sistem kefilsafatannya,
sosiologinya, dan bahkan dari aspek politik. Mengingat masalah hukum
tersebut menyangkut berbagai bidang yang sangat luas, maka tidak akan
terelakkan betapa pentingnya arti filsafat
dalam menyusun suatu hipotesa hukum, bahkan filsafat menduduki tempat yang
terpenting dalam ilmu hukum yang dituangkan dalam suatu cabang ilmu hukum yang
disebut ”filsafat hukum”.
5. Sumber Hukum menurut Veda
Dalam
sloka II.6 kitab Manawadharmasastra ditegaskan bahwa, yang menjadi sumber hukum
umat sedharma “Hindu” berturut-turut sesuai urutan adalah sebagai berikut:
1) Sruti
2) Smrti
3) Sila
Sila berarti tingkah laku, susila berarti tingkah laku orang-orang yang baik atau suci. Tingkah laku tersebut meliputi pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci. Pada umumnya tingkah laku para maharsi dijadikan standar penilaian yang patut ditauladani. Kaidah-kaidah tingkah laku yang baik tersebut tidak tertulis di dalam Smrti, sehingga sila tidak dapat diartikan sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya, walaupun nilai-nilainya dijadikan sebagai dasar dalam hukum positif.
4) Sadacara
Sadacara dipandang
sebagai sumber hukum Hindu positif. Dalam bahasa Jawa Kuno Sadacara
disebut dåûta yang berarti kebiasaan. Untuk memahami pemikiran hukum
Sadacara ini, maka hakikat dasar Sadacara adalah penerimaan Drsta
sebagai hukum yang telah ada di tempat mana Hindu itu berkembang. Dengan
demikian sifat hukum Hindu adalah fleksibel.
5) Atmanastuti
(Pudja dan Sudharta, 2004:31).
Atmanastuti
artinya rasa puas pada diri sendiri. Perasaan ini dijadikan ukuran untuk suatu
hukum, karena setiap keputusan atau tingkah laku seseorang mempunyai akibat. Atmanastuti
dinilai sangat relatif dan subyektif, oleh karena itu berdasarkan
Manawadharmasastra II.109 dan 115 menjelaskan bahwa; bila memutuskan
kaidah-kaidah hukum yang masih diragukan kebenarannya, keputusan diserahkan
kepada majelis yang terdiri dari para ahli dalam bidang kitab suci dan logika
agar keputusan yang dilakukan dapat menjamin rasa keadilan dan kepuasan yang
menerimanya.
P.N.
Sen, dan G.C. Sangkar, menyatakan bahwa sumber-sumber hukum Hindu berdasarkan
ilmu dan tradisi adalah:
1) Sruti
2) Smrti
3) Sila
4) Sadacara
5) Atmanastuti
6) Nibanda
Nibanda
adalah nama kelompok buku atau tulisan yang dibuat oleh para ahli pada zaman
dahulu yang isinya bersifat pembahasan atau kritik terhadap materi hukum yang
terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Nibanda merupakan kitab yang berisi
kritikan, gubahan-gubahan baru dengan komentar yang memberikan pandangan
tertentu terhadap suatu hal yang telah dibicarakan. Nibanda dijadikan pedoman
dalam memberikan definisi dari suatu hukum atau tingkah laku sosial antar umat
beragama Hindu. Istilah lain Nibanda
adalah Bhasya yaitu jenis-jenis rontal yang membahas pandangan tertentu
yang telah ada sebelumnya, dengan demikian Kuttaramanawa, Manusasana,
Putrasasana, Rsisasana dan lain-lain, semuanya termasuk ke dalam kelompok
Nibandha.
Selanjutnya
mengenai Veda sebagai sumber hukum utama, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Manawadharmasastra II.6 bahwa; seluruh
Veda sumber utama dari pada hukum, kemudian barulah smrti dan tingkah laku
orang-orang baik, kebiasaan dan atmanastuti. Smrti bersifat pengkhususan yang memuat
penjelasan yang bersifat autentik, penafsiran dan penjelasan ini menurut ajaran
Hukum Hindu dihimpun dalam satu buku yang disebut Dharmasastra. Dari semua
jenis kitab Smrti yang terpenting adalah kitab Dharmasastra, karena kitab
inilah yang merupakan kitab Hukum Hindu. Ada beberapa penulis kitab
Dharmasastra antara lain:
1)
Manu
2)
Apastambha
3)
Baudhayana
4)
Wasistha
5)
Sankha Likhita
6)
Yanjawalkya
7)
Parasara
Dari ketujuh penulis
tersebut, Manu yang terbanyak menulis buku dan dianggap sebagai standar dari
penulisan Hukum Hindu itu.
3.
Sloka
Kitab Suci Yang Menjelaskan Hukum Hindu
“Yaá
pàvamànir adhyeti
åûibhiá
saý bhåaý rasam.
sarvaý
sa pùtam aúnati
svaditaý
màtariúvanà”
Terjemahan:
“Dia yang menyerap (memasukkan ke dalam pikiran) melalui
pelajaran-pelajaran pemurnian intisari mantra-mantra Veda yang diungkapkan
kepada para rsi menikmati semua tujuan yang sepenuhnya dimurnikan yang dibuat manis
oleh Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi napas hidup semesta alam (Ågveda
IX.67.31).
“Iyam te rad
yantasi yamano
dhruvo-asi
dharunah.
kryai tva
ksemaya tva
rayyai tva
posaya tva”.
Terjemahan:
Wahai
pemimpin, itu adalah negara mu, engkau pengawasnya. Engkau mawas diri, teguh
hati dan pendukung warga negara. Kami mendekat padamu demi perkembangan
pertanian, esejahteraan manusia, kemakmuran yang melimpah” (Yajurveda IX.22).
“Ahaý gåbhóàmi manasà
manàýsi
mama cittam anu
cittebhir eta.
mama vaseûu
hrdayàni vah krnomi,
mama yàtam
anuvartmàna eta”.
Terjemahan:
“Wahai
para prajurit, Aku pegang (samakan) pikiranmu dengan pemikiran-Ku. Semoga anda
semua mengikuti aku menyesuaikan pikiran mu dengan pikiran-ku. Aku tawan
hatimu. Temanilah aku dengan mengikuti jalan-Ku, (Atharvaveda, VI.94.2).
“Kàmàtmatà na praúasta
na caiwe hàstya kàmatà,
kàmyo hi wedàdhigamaá
karmayogasca waidikaá”
Terjemahan:
Berbuat hanya karena nafsu untuk
memperoleh phala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa keinginan akan phala
tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber
dari mempelajari Veda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Veda (Manawa
Dharmasastra, II.2).
“Yo’ varnanyeta te mùle
hetu úàstràúrayad
dvijaá,
sa sàdhubhir bahiûkàryo
nàstiko vedanindakaá”.
Terjemahan:
Setiap dwijati yang menggantikan
dengan lembaga dialektika dan dengan memandang rendah kedua sumber hukum (Sruti
dan Smrti) harus dijauhkan dari orang-orang bijak sebagai seorang atheis dan
yang menentang Veda (Manawa Dharmasastra, II.11).
“Kitrúaá sisyo ‘dhyàpya
ityàha;
àcàrya putrah úuúrusur
jnànado dharmika úuciá,
àptaá úakto rthadaá
sàdhuá
svo ‘dhyàpyo daúa
dharmataá”.
Terjemahan:
Menurut hukum suci, kesepuluh macam
orang-orang berikutnya adalah putra guru yaitu ia yang berniat melakukan
pengabdiannya, ia yang memberikan pengetahuan, orang yang sepenuh hatinya
mentaati UU, orang yang suci, orang yang berhubungan karena perkawinan atau
persaudaraan orang yang memiliki kemampuan rohani, orang yang menghadiahkan
uang, orang yang jujur dan keluarga (mereka) dapat mempelajari Veda (Manawa
Dharmasastra, II.109).
“Doûair etaiá
kula-ghnànàý
varna-saókara-kàrakaih,
utsàdyante jàti-dharmàá
kula-dharmàú ca
úàúvatàá”.
Terjemahan:
Karena dosa dan kehancuran keluarga
ini membawa keruntuhan bagi hukum golongan (varna dharma), kebiasaan keluarga
dan hukum keluarga hancur untuk selama-lamanya, (Bhagawadgìtà, I.43).
“Yadà yadà hi dharmasya
glànir bhavati bhàrata,
abhyutthànam adharmasya
tadàtmànam srjàmy
aham”.
Terjemahan:
Sesungguhnya manakala dharma
berkurang kekuasaannya dan tirani hendak merajalela, wahai arjuna, saat itu aku
ciptakan diriku sendiri, (Bhagawadgìtà, IV.7).
“Çrutyuktaá paramo
dharmastathà smrti gato ‘parah,
Çistàcàrah parah proktasrayo
dharmàá sanàtanàá.
Kunang kengetakena,
sassing kajar de sang hyang çruti dharma ngaranika,
sakajar de sang hyang
smrti kuneng dharma ta ngaranika, çistacara kunang,
acaranika sang çista,
dharma ngaranika, sista ngaran sang hyang satyawadi,
sang apta, sang
patisthan, sang panadahan upa deça sangksepa ika katiga,
dharma ngaranira.
Terjemahan:
Adapun yang patut untuk
diingat-ingat, semua apa yang diajarkan oleh Çruti disebut dharma, semua yang
diajarkan oleh Smrti pun dharma namanya, demikian pula tingkah laku orang çista
disebut dharma, yang disebut çista adalah yang berkata-kata benar, orang yang
dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat pensucian, orang yang menjadi tempat
menerima ajaran kerohanian, singkatnya ketiganya itu, dharma namanya, (Sarasamuçcaya,
40)
“Çruyatàm dharmasàswam
çrutwà
çaiwopadhàryatàm,
atmanah pratikùlani na
paresàm samàcara.
Matangnyan rengo
sarwadàya, paramàrtha ning sinangguh dharma telas rinengonta çupwanantà ta ri
hati, ikang kadi ling mami ngùni wih, sasing tak kahyun yàwakta, yatika
tanulahakenanta ring len.
Terjemahan:
Karena itu dengarkanlah segala
upaya, makna yang dianggap dharma, setelah engkau mendengarnya, camkan itu
baik-baik di hati, sebagai mana yang telah saya katakan sebelumnya, segala
sesuatu yang tidak berkenan di hatimu, yang itu janganlah hendaknya engkau
lakukan kepada orang lain, (Sarasamuçcaya, 44).
4.
Hubungan Hukum
Hindu dengan Budaya, Adat-Istiadat Dan Kearifan Daerah Setempat
Dalam
berbagai penelitian dan penulisan Hukum Adat, baik dalam bidang hukum pidana,
dalam bidang hukum perdata terutama hukum waris, hukum kekeluargaan dan
perkawinan yang dikatakan hukum adat, semuanya ternyata hukum Hindu. Baik
pengertian, istilah-istilah yang dipakai maupun dasar filosofinya delapan belas
titel hukum atau astadasa wyawahara,
pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidana adat seperti brahmantia,
wakparusia, sahasa dan sebaginya. Semuanya merupakan hukum agama, ini
berarti hukum Adat sebagian besar adalah hukum agama, yakni hukum adat itu
sebagian besar adalah hukum agama Hindu (Pudja, 1997:34-35).
Dalam prakteknya
di tengah masyarakat memang tampak gejala yang bertautan antara hukum Hindu
dengan Hukum Adat. Kitab-kitab Hukum Hindu dalam bentuk kompilasi seperti; Adigama,
Agama, Kutaragama, Purwadigama dan Kutara Manawa, memang amat sering
dijadikan sumber penyusunan Hukum Adat. Hanya transfer ke dalam Hukum Adat
tidak dilakukan sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum Hindu
tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini
para tetua adat sangat berperan sebagai tokoh yang bertugas khusus menyaring
nilai-nilai hukum Hindu untuk diselaraskan kebutuhannya sesuai dengan sistem
sosial yang berkembang di lingkungan sekitarnya.
Pelaksaan Hukum
Hindu di dalamnya memuat tentang pembuktian menurut Hukum Hindu. Peninjauan pembuktian
menurut hukum Hindu dapat kita kaji dalam berbagai peristiwa peradilan maupun
dengan kekuatan pemerintah melalui lembaganya dalam mengadili suatu perkara. Hal
ini dilakukan karena melalui proses peradilan dengan berdasarkan sastra dan
kewenangan pemerintah dapat dipakai landasan untuk memperoleh suatu pembuktian
terhadap pelanggaran. Menurut Dharmasastra,
kekuasaan mengadili atau yudikatif dipegang oleh Raja. Dalam melaksanakan
tugas yudikatif, Raja atau Kepala Eksekutif dapat bertindak sendiri atau
dikatakan sebagai Hakim Tunggal (Dharmasastra.
VIII. 1-10). Selain itu dapat diangkat badan peradilan yang bertugas
sebagai hakim yang akan memutus perkara dari ahli kitab (veda) yang disebut Brahmana. Bentuk peradilan ini disebut
dengan peradilan Brahmana atau
dikenal dengan sebutan Hakim Majelis
yang terdiri dari setidak-tidaknya tiga hakim anggota yang diangkat dan
diberhentikan oleh Raja (Manu, VIII. 11). Pada dasarnya, adanya badan
Yudikatif adalah untuk mengembalikan
dharma atau menegakkan keadilan yang merupakan kebenaran Tuhan (Wrasa/bentenga)
dan pelanggaraannya dinamakan Wrasada (yang dikucilkan).
Pengadilan dimulai
setelah adanya gugat dan gugat timbul karena adanya pihak yang dirugikan. Pemanggilan
dilakukan oleh hakim atau raja atau pengadilan yang berwenang setelah adanya
pengaduan. Dalam sastra, kita jumpai dua istilah penting, yaitu:
2) Asedha/Asadha, yaitu tindak penuntut umum untuk melakukan penahanan dalam rangka pemanggilan supaya terdakwa tidak melarikan diri.
Gugatan atau
tuntutan yang disampaikan kepada raja atau hakim menurut Yajnawalkya dan Brihaspati
harus benar-benar baik, karena jika tidak raja dapat menolaknya. Gugatan yang
sempurna disebut bhasa sedangkan yang tidak sempurna dinamakan praksabhasa.
Adapun yang dimaksud praksabhasai (Yajnawalkya, II.6), ialah:
2) Isinya memuat kebenaran yang memerlukan penindakan (Nirawadha)
3) Isinya tidak menghendaki penindakan (Nisprayojana)
4) Isinya tidak mungkin untuk dapat dibuktikan (pura rastra wiruddha)
5) Isinya bertentangan dengan kepentingan Negara (pura wiruddha)
Tertuduh setelah
mendengar tuduhan yang disampaikan harus memberikan bantahan atau tangkisan (Uttara). Berbagai jenis tangkisan
disebutakan dalam Kitab Katyayana Smrti,
yaitu:
2) Mithya (palsu/tidak benar)
3) Pratyawaskandana (pengakuan atau pengingkaran)
4) Prangnyaya/ Res Judicata (tidak bertentangan dengan yang terdahulu)
Dengan menggabungkan gugatan dan
jawaban, dalam jawab-menjawab (Uttara
samkara), diharapkan kebenaran akan dapat ditemui. Keputusan (siddhi) dapat diberikan setelah
mengadakan pendengaran (kriya)
kepada kedua belah pihak. Keputusan tertulis yang diberikan dikenal dengan nama
“Jaya ptra” yang isinya memuat
pernyataan mengenai tuntutan atau gugatan dan pembelaan dalam tangkisan
disertai bukti-bukti, diputus atas nama keadilan dan Sabhasada atau saksi-saksi yang hadir dalam sidang terbuka untuk
umum.
Ditinjau dari
segi pembuktian, Maharsi Yajnawalkya dalam tulisannya mengemukakan ada empat
macam bukti, yaitu:
Dianggap
sebagai bukti paling kuat tidak hanya merupakan dokumen tertulis.
Alat
pembuktian yang kuat pula, kecuali bukti ditolak maka diperlukan adanya bukti
lainnya seperti saksi.
Menurut
Bhagawan Manu, dalam pembuktian menggunakan saksi, Bab VIII 60-71, ditetapkan
pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:
a. Setidak-tidaknya
harus diketengahkan tiga saksi.
b. Saksi
harus telah berumah tangga (dewasa).
c. Saksi
diberikan oleh para pihak.
d. Saksi
harus bebas dari lobha.
Diwya
asal mulanya merupakan kesaksisan dewa-dewa, yaitu meminta kesaksian dari dewa
atas pembuktian yang disampaikan dalam perkara itu. Pelaksanaan diwya
dipraktekan dalam bentuk sumpah dengan meminta kekuatan:
1) Tula
Sumpah menurut sistem Tula
(timbangan), dimana yang disumpah ditimbang dengan pemberat lainnya.
2) Agni
Sumpah menurut Agni,
yang disumpah dites dengan api, bila terbakar dianggap bersalah.
3) Apah
Apah atau sumpah dengan
air, yang ditenggelamkan ke dalam air untuk beberapa waktu, bila dapat bertahan
atau hidup dianggap tidak bersalah.
4) Wisa atau kosa
Wisa atau sumpah dengan
racun, dalam bahasa Bali dikenal dengan nama Mecor atau disumpah
dengan minum racun, bila hidup berarti tidak bersalah. Sedangkan kosa adalah sumpah semacam wisa hanya saja tidak beracun, melainkan
dengan memakai air bekas pembersih arca atau keris yang telah dimantrai
kemudian dimandikan dan diminum tiga teguk, apabila tidak mempunyai akibat
apa-apa dalam beberapa waktu yang lama dianggap tidak salah.
Dewasa
ini bentuk sumpah yang lebih ringan adalah jenis sumpah bentuk separtha, yaitu sumpah hanya dalam
bentuk kata-kata, misalnya: kalau benar saya bersalah supaya tidak selamat,
supaya tidak bahagia atau sebagainya.
Tim Peneliti
Universitas Udayana Denpasar dalam penelitiannya tentang pengaruh agama Hindu
terhadap hukum pidana adat di Bali, menunjukkan adanya pengaruh hukum Hindu
dalam jenis pelanggaran susila ini atau dikenal dengan Delik Adat yang Menyangkut Kesusilaan (Tim Peneliti Universitas Udayana
Denpasar, 1975 : 47):
2. Amandel Sanggama adalah suatu bentuk perbuatan dimana seorang istri meninggalkan suaminya yang masih dalam status ikatan perkawinan.
3. Gamia Gamana adalah suatu bentuk larangan terhadap hubungan sexual yang dilakukan antara mereka yang mempunyai hubungan darah dekat, seperti halnya seorang lelaki yang berhubungan badan dengan anak atau keponakannya.
4. Salah karma adalah bentuk delik adat yang berupa hubungan sexual antara manusia dengan binatang.
5. Drati-krama adalah suatu bentuk delik adat yang berupa hubungan sexual antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah bersuami.
6. Wakparusya adalah mengeluarkan kata-kata kotor yang ditujukan kepada seseorang.
7. Mamitra ngalang adalah suatu delik yang berupa seorang laki-laki yang sudah beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir batin seperti layaknya suami-istri, tetapi wanita ini belum resmi dinikahi. Hubungan mereka bersifat terus-menerus dan biasanya si wanita di tempatkan dalam suatu rumah tersendiri. Delik ini hampir sama dengan drati krama, tetapi tititk berat pelakunya adalah laki-laki yang sudah beristri sedang pihak wanita tidak terikat perkawinan dan hubungannya secara terus-menerus. Sedangkan wanita dalam drati krama masih bersuami yang sah.
8. Pembongkaran kuburan, yaitu dimana pembongkaran ini sering bermotif jahat, misalnya untuk mengambil mayat orang yang ditanam atau mengambil benda berharga yang ikut tertanam dengan mayat tersebut.
9. Kumpul kebo ialah seorang laki-laki dengan seorang wanita hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mengadakan hubungan sexual, seperti layaknya suami-istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan yang sah.
Delik Adat yang Menyangkut Harta Benda diatur dalam Awig-awig Desa Adat, secara garis
besarnya dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni:
2) Delik adat pencurian benda suci diatur dalam 41% awig-awig desa adat;
Benda-benda
suci menurut besar kecil nilai kesuciannya dapat dibagai menjadi tiga
tingkatan, yaitu:
1. Pralingga-pralingga
yang dibuat khusus untuk melambangkan Sang Hyang Widhi Wasa yang wujudnya
seperti pewayangan yang disesuaikan manifestasinya.
2. Tapakan-tapakan
seperti misalnya barong, rangda dan lain sebagainya yang dibuat dengan tujuan
supaya dijiwai oleh ista dewata yang mempunyai kekuatan gaib supaya jangan
mengganggu alam semesta.
3. Alat-alat
upacara, yaitu semua alat yang khusus dipakai alam upacara keagamaan saja,
misalnya kaun lelancingan, umbul-umbul dan lain-lain.
Delik
Adat yang Melanggar Kepentingan Pribadi, meliputi mengucapkan
kata-kata kotor atau mencaci seseorang (memisuh), memfitnah (mapisuna)
orang lain, menipu atau berbohong (memauk/mogbog) yang menimbulkan
kerugian pada orang lain, menuduh orang lain tanpa bukti yang jelas (menuduh
bias “ngeleak”/menyakiti orang lain) dan sebagainya. Delik Adat karena Kelalaian atau Tidak
Menjalankan Kewajiban, misalnya lalai atau tidak melakukan kewajiban
sebagai warga/karma desa adat,
seperti tidak melaksanakan kewajiban “nyahan” desa, tidak hadir dalam
rapat (paruman) desa, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran (papeson)
untuk kepentingan upacara atau pembangunan dan lain-lain.
Semua
jenis hukum adat tersebut (pokok-pokok ajaran mengenai acara dalam Kitab
Dharmasastra VII. 1-118) pernah diterapkan dalam peradilan Kerta di Bali semasa
jaman penjajahan Hindu Belanda di Indonesia walaupun dengan sedikit variasi.
Dari keputusan-keputusan raad van kerta kita mendapatkan kesimpulan bahwa
bentuk hukum perdata, terutama hukum waris dan perkawinan menempati skala pelanggaran
terbesar dibandingkan bentuk hukum lainnya. Apabila skala pengaruh hukum Hindu
terhadap hukum adat ditinjau secara makro, maka kita harus bertolak pada tiga
hal pokok yang dipakai tumpuan memahami eksistensi hukum adat Bali secara lebih
mendasar. Ketiga hal pokok itu adalah Tri Hita Karana, yakni adanya
upaya umum masyarakat itu sendiri. Upaya menegakkan keseimbangan hubungan
masyarakat secara keseluruhan dengan alam Ketuhanan.
Berbagai
pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat sebagaimana contoh yang dikedepankan
di atas, menunjukkan skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat pada
dimensi “Pawongan” dan ”palemahan”. Adanya pengaruh hukum Hindu
terhadap hukum adat, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hukum adat itu
tidak ada. Gde Pudja mengatakan, hukum adat haruslah tetap ada, sebagai kaidah
yang asli pada masyarakat primer. Namun sejauh ini pembuktian untuk membedakan
hukum adat dengan hukum Hindu, belum banyak dilakukan. Kalau ada, penulisan ini
belum sampai melihat kemungkinan bahwa hukum itu bersumber pada Hukum Hindu. (Pudja,
1977:34).
Sumber:
- Lestawi, I Nengah dan I Made Wirahadi Kusuma. 2015. Hukum Hindu. Denpasar: Kementerian Agama RI Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
- Tim Penyusun. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar