Selasa, 16 Juni 2020

Weda Sebagai Sumber Hukum Hindu (Materi Agama Hindu Kelas XII)

Weda Sebagai Sumber Hukum Hindu

1.      Perkembangan Hukum Hindu

Kehadiran Hukum Hindu dimulai dari adanya sebuah perdebatan di antara para tokoh agama pada saat itu. Adapun nama-nama para Maharsi sebagai penulis Hukum Hindu diantaranya; Gautama, Baudhayana, Shanka-likhita, Wisnu, Aphastamba, Harita, Wikana, Paitinasi, Usanama, Kasyapa, Brhraspati dan Manu. Dengan adanya upaya penulisan atas Hukum Hindu tampak jelas kepada  kita bahwa referensi Hukum Hindu telah lama dimulai juga dengan berbagai perdebatan dan kritik masing-masing sehingga melahirkan beberapa aliran Hukum Hindu di antaranya:

  1. Aliran Yajnyawalkya oleh Yajnyawalkya.
  2. Aliran Mithaksara oleh Wijnaneswara.
  3. Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana.

Dari ketiga aliran tersebut akhirnya keberadaan hukum Hindu dapat berkembang dengan pesat khususnya di wilayah India dan sekitarnya, dua aliran yang terakhir yang mendapat perhatian khusus dan dengan penyebarannya yang sangat luas yaitu aliran Yajnyawalkya dan aliran Wijnaneswara (Puja, Gde. 1984:82).

Pelembagaan aliran (Yajnyawalkya dan Wijnaneswara) yang di atas sebagai sumber Hukum Hindu pada Dharmasastra adalah tidak diragukan lagi karena adanya ulasan-ulasan yang diketengahkan oleh penulis-penulis Dharmasastra sesudah Maha Rshi Manu yaitu Medhati (900 SM), Kullukabhata (120 SM), setidak-tidaknya telah membuat kemungkinan pertumbuhan sejarah Hukum Hindu dengan mengalami perubahan prinsip sesuai dengan perkembangan zaman saat itu dan wilayah penyebarannya seperti Burma, Muangthai sampai ke Indonesia. Penggaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia nampak jelas pada zaman Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau reformasi Hukum Hindu, yaitu dipakai sebagai sumber yang berisikan ajaran-ajaran pokok Hindu yang khususnya memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu, yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu dimasa penyebaran Agama Hindu keseluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan penyebaran Hindu, diturunkanlah undang-undang yang mengatur praja wilayah Nusantara dalam bentuk terjemahan-terjemahan kedalam bahasa Jawa Kuno. Adapun aliran yang mempengaruhi Hukum Hindu di Indonesia yang paling dominan adalah Mithaksara dan Dayabhaga.

Hukum-hukum Tata Negara dan Tata Praja serta Hukum Pidana yang berlaku sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manawadharmasastra, hal ini kemudian dikenal sebagai kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat seperti yang berkembang di Indonesia, yang khususnya dapat dilihat pada hukum adat di Bali. Istilah-istilah wilayah hukum dalam rangka tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada desa praja.  Desa praja adalah administrasi terkecil dan bersifat otonom dan inilah yang diterapkan pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti, sesana dengan prasasti-prasasti yang dapat ditemukan diberbagai daerah di seluruh Nusantara. Lebih luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan grama, dan daerah khusus ibu kota sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan dikenal dengan nama pura, penggabungan atas pengaturan semua wilayah ini dinamakan dengan istilah Negara atau rastra. Maka dari itu hampir seluruh tatanan kenegaraan yang dipergunakan sekarang ini bersumber pada Hukum Hindu.

Kitab Suci adalah semacam undang-undang yang pembuatnya adalah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan dibuat oleh manusia (apauruseya). Hukum alam disebut dengan istilah Rta, sama dengan Widhi yang artinya sama dengan aturan yang ditetapkan oleh Tuhan.Dari kata itulah kemudian lahirlah istilah Sang Hyang Widhi, yang artinya sama dengan penguasa atas hukumnya, dikuasai oleh “Rtavan” Tuhan Yang Maha Kuasa/Ida Sang Hyang Paramakawi sebagai penciptanya. Rta adalah hukum murni yang bersifat absolut transcendental. Bentuk hukum alam yang dijabarkan ke dalam amalan manusia disebut Dharma. Dharma bersifat mengatur tingkah laku manusia guna dapat mewujudkan kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan di dalam hidup. Dalam perkembangan ajaran dharma itu, kemudian dharma dianggap bersumber pada Veda, Smrti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Sedangkan Rta berkembang menjadi bentuk kepercayaan akan adanya nasib yang ditentukan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hukum ialah peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok agar tercipta suasana yang serasi, tertib dan aman. Hukum ini ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum inilah yang merupakan undang-undang. Undang-Undang Dasar itu mengatur pokok-pokok yang menjadi sendi kehidupan bernegara dan dari undang-undang dasar itu dibuat undang-undang pokoknya. Seperti halnya dengan undang-undang dasar, dalam kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan selanjutnya dirumuskan lebih terinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kitab suci itu. Tingkah laku manusia yang baik, yang menjadi tujuan di dalam pengaturan kehidupan ini disebut Darmika. Dharma adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat (dharma dharayate prajah). Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran ini setiap tingkah laku harus mencerminkan kebenaran hukum (dharma), artinya tidak bertentangan dengan undang-undang yang menguasainya. Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang ditetapkan oleh penguasa, pemerintah maupun berlakunya itu secara alamiah, yang kalau perlu dipaksakan agar peraturan tersebut dipatuhi sebagaimana yang ditetapkan.

Hukum sebagai peraturan hidup berfungsi membatasi kepentingan dari setiap pendukung hukum (subyek hukum), menjamin kepentingan dan hak mereka masing-masing, serta menciptakan pertalian-pertalian guna mempererat hubungan antara mereka dan menentukan arah bagi terciptanya kerjasama. Tujuan yang hendak dicapai dari adanya hukum itu adalah suatu keadaan yang damai, adil, sejahtera, dan bahagia. Untuk tercapainya hal tersebut maka didalam hukum itu harus mengandung sanksi yang bersifat tegas dan nyata. Hukum berfungsi sebagai pengendalian sosial agar tercapai ketertiban. Ketertiban adalah merupakan syarat pokok dalam masyarakat. Agar ketertiban ini bisa tercapai maka perlu adanya kepastian hukum di dalam masyarakat, yang mampu menciptakan masyarakat yang tenang, tentram, damai, adil, sejahtera dan bahagia. Dalam ilmu hukum dibedakan antara Statuta Lawdengan Common Law atau Natural Law. Statuta Law adalah hukum yang dibentuk dengan sengaja oleh penguasa, sedangkan Common Law atau Natural Law adalah hukum alam yang ada secara alamiah. Unsur-unsur yang terpenting dalam peraturan-peraturan hukum memuat dua hal, yaitu :

  1. Unsur-unsur yang bersifat mengatur atau normatif.
  2. Unsur-unsur yang bersifat memaksa atau represif.

Dalam hal ini umat Hindu yang juga merupakan warga Negara Indonesia, mereka harus tunduk pada dua kekuasaan hukum, yaitu:

  1. Hukum yang bersumber pada perundang-undangan Negara seperti: UUD, Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
  2. Hukum yang bersumber pada kitab suci, sesuai dan menurut agamanya.

Kebutuhan akan pengetahuan tentang Hukum Hindu dirasakan sangat penting oleh umat Hindu untuk dipelajari dan dipahami dalam rangka melaksanakan dharma agama dan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber segala yang ada, disamping umat Hindu juga sebagai warga Negara yang terikat oleh hukum nasional. Hukum Hindu penting untuk dipelajari karena:

  1. Hukum Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Hindu di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, khususnya pasal 29 ayat 1 dan 2, serta pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Untuk memahami bahwa berlakunya hukum Hindu di Indonesia dibatasi oleh falsafah Negara Pancasila dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
  3. Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum adat (Bali) dengan hukum agama Hindu atau hukum Hindu.
  4. Untuk dapat membedakan antara adat murni dengan adat yang bersumber pada ajaran-ajaran Agama Hindu.

Muncul dan tumbuhnya aliran-aliran hukum Hindu ini adalah merupakan fenomena sejarah perkembangan hukum Hindu yang semakin meluas dan berkembang. Bersamaan dengan itu pula maka muncullah kritikus-kritikus Hindu yang membahas tentang berbagai aspek hukum Hindu, serta bertanggung jawab atas lahirnya aliran-aliran hukum tersebut. Sebagai akibatnya timbulah berbagai masalah hukum yang relatif menimbulkan realitas kaidah-kaidah hukum Hindu diantara berbagai daerah Hindu. Dua dari aliran hukum yang muncul itu akhirnya sangat berpengaruh bagi perkembangkan hukum Hindu di Indonesia, terutama aliran Mitaksara, dengan berbagai pengadaptasiannya. Di Indonesia kita mewarisi berbagai macam rontal dengan berbagai nama, seperti: Usana, Gajahmada, Sarasamuscaya, Kutara Manawa, Agama,Adigama, Purwadigama, Krtapati, Krtasima. Di antara rontal-rontal itu yang memuat tentang sasana adalah: Rajasasana, Siwasasana, Putrasasana, Rsisasana dan yang lainnya. Semuanya itu adalah merupakan gubahan yang sebagian bersifat penyalinan dan sebagian lagi bersifat pengembangan. Penting untuk kita ketahui sumber hukum dalam arti sejarah adalah adanya Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara-paswara yang dipergunakan sebagai yurisprudiensi hukum Hindu yang dilembagakan oleh para raja-raja Hindu. Hal semacam inilah yang nampak pada kita yang secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai hal mengenai sumber-sumber hukum Hindu berdasarkan atas sejarahnya.

2.      Sumber-Sumber Hukum Hindu

Menurut para Maharsi sumber Hukum Hindu berasal dari Veda Sruti dan Veda Smrti. Veda Sruti adalah kitab suci Hindu yang berasal dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang didengar langsung oleh para Maharsi, yang isinya patut dipedomani dan dilaksanakan oleh umat sedharma. Veda Smrti adalah kitab suci Hindu yang ditulis oleh para Maharsi berdasarkan ingatan yang bersumber dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang isinya patut juga dipedomani dan dilaksanakan oleh umat sedharma.

Veda Smrti sebagai sumber Hukum Hindu dapat kita kelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :

  1. Kelompok Vedangga/Batang tubuh Veda (Siksa, Wyakarana, Chanda, Nirukta, Jyotisa dan Kalpa).
  2. Kelompok UpaVeda /Veda tambahan (Itihasa, Purana, Arthasastra, Ayur Veda dan Gandharwa Veda).

Bagian terpenting dari kelompok Vedangga adalah Kalpa yang padat dengan isi Hukum Hindu, yaitu Dharmasastra, sumber hukum ini membahas aspek kehidupan manusia yang disebut dharma. Sedangkan sumber hukum Hindu yang lain yang juga menjadi sumber Hukum Hindu adalah dapat dilihat dari berbagai kitab-kitab lain yang telah ditulis yang bersumber pada Veda diantaranya:

  1. Kitab Sarasamuscaya
  2. Kitab Suara Jambu
  3. Kitab Siwasasana
  4. Kitab Purwadigama
  5. Kitab Purwagama
  6. Kitab Devagama (Kerthopati)
  7. Kitab Kutara Manawa
  8. Kitab Adigama
  9. Kitab Kerthasima
  10. Kitab Kerthasima Subak
  11. Kitab Paswara

Bidang-bidang Hukum Hindu sesuai dengan sumber Hukum Hindu yang paling terkenal adalah Manawa Dharmasastra yang mengambil sumber ajaran Dharmasastra yang paling tua, adapun pembagian terdiri dari:

  1.  Bidang Hukum Keagamaan, bidang ini banyak memuat ajaran-ajaran yang mengatur tentang tata cara keagamaan yaitu menyangkut tentang antara lain;

a.     Bahwa semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatu hukum yang disebut rta atau dharma.

b.    Ajaran-ajaran yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang semuanya mengandung konsekuensi atau akibat (sanksi).

c.      Tiap-tiap ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan dengan zaman atau waktu dan dimana tempat dan kedudukan hukum itu dilaksanakan, dan absolut berarti mengikat dan wajib hukumnya dilaksanakan.

d.      Pengertian warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.

2.   Bidang Hukum Kemasyarakatan, bidang ini banyak memuat tentang aturan atau tata cara hidup bermasyarakat satu dengan yang lainnya, atau sosial. Dalam bidang ini banyak diatur tentang konsekuensi atau akibat dari sebuah pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal dengan hukum perdata dan pidana. Lembaga yang memegang peranan penting yang mengurusi tata kemasyarakatan adalah Badan Legislatif, yang menurut Hukum Hindu adalah Parisadha. Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan masalah dengan cara pendekatan perdamaian, dan jika tidak berhasil maka ke pengadilan.

3. Bidang Hukum Tata Kenegaraan, bidang ini banyak memuat tentang tata cara bernegara, dimana terjalinnya hubungan warga masyarakat dengan negara sebagai pengatur tata pemerintahan yang juga menyangkut hubungan dengan bidang keagamaan. Disamping sistem pembagian wilayah administrasi dalam suatu negara, Hukum Hindu ini juga mengatur sistem masyarakat menjadi kelompok-kelompok hukum yang disebut; Warna, Kula, Gotra, Ghana, Puga, dan Sreni, pembagian ini tidak bersifat kaku karena dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Kekuasaan Yudikatif diletakkan pada tangan seorang raja atau kepala negara, yang bertugas, memutuskan semua perkara yang timbul pada masyarakat. Raja dibantu oleh Devan Brahmana yang merupakan Majelis Hakim Ahli, baik sebagai lembaga yang berdiri sendiri maupun sebagai pembantu pemerintah didalam memutuskan perkara dalam sidang pengadilan (dharma sabha), pengadilan biasa (dharmaastha), pengadilan tinggi (pradiwaka) dan pengadilan istimewa.

Ketentuan mengenai Veda sebagai sumber Hukum Hindu dinyatakan dengan tegas di dalam berbagai jenis kitab suci veda. Sruti adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum. Smrti bersumber pada kitab Sruti. Baik Sruti maupun Smrti keduanya adalah merupakan sumber Hukum Hindu. Kedudukan Smrti sebagai sumber Hukum Hindu sama kuatnya dengan Sruti. Smrti sebagai sumber Hukum Hindu lebih populer dengan istilah Manusmrti atau Dharmasastra. Dharmasastra dinyatakan sebagai kitab Hukum Hindu karena didalamnya memuat banyak peraturan-peraturan yang bersifat mendasar yang berfungsi untuk mengatur dan menentukan sanksi bila diperlukan. Di dalam kitab Dharmasastra termuat serangkaian materi hukum dasar yang dapat dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam rangka mencapai tujuan hidup “catur purusartha” yang utama. Setiap pelanggaran baik itu merupakan delik biasa atau delik adat, tindak pidana, dan yang lainnya semuanya itu diancam hukuman. Sifat ancamannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat yaitu ”hukuman mati”. Ancaman hukuman mati sebagai hukuman berat berlaku terhadap siapa saja yang melakukan tindak kejahatan. Manawa Dharmasastra atau Manusmrti adalah kitab hukum yang telah tersusun secara teratur, dan sistematis. Kitab ini terbagi menjadi dua belas (12) bab atau adhyaya. Bila kita mempelajari kitab-kitab Hukum Hindu maka banyak kita menemukan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan titel hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Hindu mengalami proses perkembangan.

Adapun pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam Hukum Hindu, antara lain: Kitab Hukum Hindu yang pertama dikenal adalah Dharmasutra. Ada tiga penulis yang terkenal terkait dengan keberadaan kitab Dharmasutra, diantaranya adalah;

1.      Gautama adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih menekankan pembahasan aspek hukum dalam rangkaian peletakan dasar tentang fungsi dan tugas raja sebagai pemegang dharma. Pada dasarnya beliau membahas tentang pokok-pokok hukum pidana dan hukum perdata.
2.      Apastamba adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih menekankan pembahasan tentang  pokok-pokok materi wyawaharapada dengan beberapa masalah yang belum dibahas dalam kitab Gautama, seperti; mengenai hukum perzinahan, hukuman karena membunuh diri, hukuman karena melanggar dharma, hukum yang timbul karena sengketa antara buruh dengan majikan, dan hukum yang timbul karena penyalahgunaan hak milik.
3.      Baudhayana adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih menekankan pembahasan tentang pokok-pokok hukum seperti; hukum mengenai bela diri, penghukuman karena seorang brahmana, penghukuman atas golongan rendah membunuh brahmana, dan penghukuman atas pembunuhan yang dilakukan terhadap ternak orang lain.

Dharmasastra adalah kitab hukum Hindu selain Dharmasutra. Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra yang patut kita ketahui karya sastranya dibidang hukum Hindu, seperti; Wisnu, Manu, dan Yajnawalkya. Manu adalah penulis kitab Dharmasastra yang terkenal. Manu sebagai penulis Dharmasastra, berbicara tentang Hukum Hindu untuk mewakili karyanya sendiri. Kitab Dharmasastra karya Manu, menjadi sumber Hukum Hindu berlaku dan memiliki pengaruh yang sangat luas termasuk di Indonesia. Hal ini dapat kita ketahui dari pokok-pokok ajarannya yang banyak kita jumpai dalam berbagai lontar yang ada seperti di Bali. Sedangkan Yajnawalkya menjadi terkenal di bidang penulisan dharmasastra sebagai sumber Hukum Hindu, karena mewakili salah satu mahzab hukum yang berkembang dalam Hukum Hindu. Diantara mahzab-mahzab tersebut adalah; Mitaksara, Dayabhaga, dan Yajnawalkya. Menurut kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu, keberadaan titel hukum atau wyawaharapada dibedakan jenisnya menjadi delapan belas (18), antara lain;

1.    Rinadana (hutang piutang), yaitu ketentuan tentang tidak membayar hutang.

Dalam kitab Dharmasastra, VIII.49. Manu menyatakan bahwa seorang kreditur dapat menuntut atau memperoleh piutangnya dari debitur melalui persuasif moril, keputusan pengadilan, melalui upaya akal, melalui cara puasa di pintu masuk rumah debitur, dan yang akhirnya dengan cara kekerasan. Yang terpenting dari hukum utang piutang itu adalah ketentuan mengenai kebolehan menaikkan bunga sebagai hak yang dapat dituntut oleh kreditur atas piutang yang diberikan kepada debitur. Selanjutnya disebutkan bahwa hutang seorang debitur jatuh kepada ahli warisnya. Apabila debitur meninggal dunia sebelum sempat melunasi hutangnya, maka ahli waris bersangkutan berkewajiban melunasinya (Dharmasastra, XII.40).

2.    Niksepa adalah hukum mengenai deposito dan perjanjian.

Rsi Gautama mulai mengajarkan tentang hukum yang berkaitan dengan Niksepa (deposito). Ajarannya diikuti oleh Rsi Narada dan  Rsi Yajnawalkya, dengan pembahasan  yang lebih mendalam dan meluas. Baik Rsi Narada maupun Rsi Yajnawalkya  membedakan ajaran hukum Niksepa menjadi beberapa jenis bentuk deposito, diantaranya adalah; Yachita, Ayachita,  Anwahita, dan Nyasa.

3.      Aswamiwikrya adalah tentang penjualan barang tidak bertuan.

Penjelasan tentang permasalahan hukum penjualan barang  tidak bertuan tidak dijumpai di dalam kitab hukum karya Rsi Gautama. Didalam kitab beliau hanya terdapat  adanya klausal yang mengemukakan dan menegaskan bahwa penadah atau penerima barang curian dapat dihukum (Dharmasutra, XII.50). Dengan demikian, orang yang membeli barang curian dapat dihukum. Pernyataan ini dipertegas dan diperluas kembali oleh Rsi Yajnawalkya, yang dalam bukunya menyebutkan bahwa; baik pembeli maupun penjualnya dapat dituntut melalui hukum. Oleh karena itu, ia harus dapat mmbuktikan bahwa benda itu adalah haknya yang sah (Dharmasastra, II.168-174). Ini berarti, bahwa saat itu telah ada dan dibuatkan aturan tentang pemanfaatan dan pembuktian bahwa barang itu bertuan atau barang tidak bertuan.

4.      Sambhuya-samutthana yaitu perikatan/persekutuan antara firma.
Persekutuan antara firma dalam bidang hukum dagang menurut Hukum Hindu baru pertama kali kita  jumpai dalam kitab Dharmasastra karya Rsi Wisnu. Premi atau keuntungan atau upah yang diterima oleh para anggota harus berbanding sama menurut aturan. Berdasarkan pertumbuhan kesadaran hukum masyarakat, lembaga itu mungkin sudah berkembang sebelum Rsi Manu dan mencapai bentuknya pada zamannya Rsi Manu. Ajaran ini selanjutnya dikembangkan oleh Rsi Yajnawalkya, Rsi Narada, dan Rsi Brhaspati.
5.      Dattasyanapakarma adalah ketentuan mengenai hibah dan pemberian.
Dana atau pemberian baik berdasarkan agama maupun tidak dikenal dengan titel ”Datta Pradanika” atau juga disebut Syanapakarma, yang artinya; menghadiahkan atau penuntutan atas pemberian. Menurut Agama Hindu berbuat dana merupakan kewajiban yang terpuji dan diatur berdasarkan ajaran agama dan kepercayaan masyarakat. Bentuk pemberian yang pertama kita jumpai adalah bentuk daksina, yaitu semacam pemberian sebagai upah kepada Pendeta (brahmana) yang melakukan upacara untuk orang lain. Besarnya pemberian tidak sama, yang terpenting adalah nilai pemberian itu.
6.      Wetanadana yaitu hukum mengenai tidak membayar upah.
7.      Samwidwyatikarma adalah hukum mengenai tidak melakukan tugas yang diperjanjikan.
8.      Krayawikrayanusaya artinya pelaksanaan jual beli.
9.      Swamipalawiwada artinya perselisihan antara buruh dengan majikan.
10.  Simawiwada artinya perselisihan mengenai perbatasan
11.  Waparusya adalah mengenai penghinaan.
12.  Dandaparusya artinya penyerangan dan kekerasan.
13.  Steya adalah hukum mengenai pencurian.
14.  Sahasa artinya mengenai kekerasan.
15.  Stripundharma adalah hukum mengenai kewajiban suami-istri.
16.  Stridharma artinya hukum mengenai kewajiban seorang istri.
17.  Wibhaga adalah hukum pembagian waris.
18.  Dyutasamahwya adalah hukum perjudian dan pertaruhan (Lestawi, I Nengah dan Kusuma, I Made Wirahadi. 2014 : 55-56).

Selanjutnya sloka kitab hukum Manawa Dharmasastra II. 6 menjelaskan bahwa; Seluruh Veda merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu) kemudian barulah Smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Veda serta kemudian acara tradisi dari orang-orang suci dan akhirnya atmanatusti “rasa puas diri sendiri”. Berdasarkan sloka tersebut di atas kita dapat mengenal sumber-sumber Hukum Hindu menurut urut-urutannya adalah sebagaimana istilah berikut ;

1)      Veda Sruti.
2)      Veda Smrti.
3)      Sila.
4)      Acara (Sadacara).
5)      Atmanastusti.

Kitab Manawa Dharmasatra, II.10 menjelaskan bahwa; sesungguhnya Sruti adalah Veda demikian pula Smrti itu adalah dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan kebenarannya dalam hal apapun yang karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari Agama Hindu “Dharma”.  Sruti dan Smrti adalah sumber Hukum Hindu, dan merupakan dasar utama yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Kedudukan Menawa Dharmasastra II.10 dan 6, merupakan dasar yang patut dipegang teguh dalam hal kemungkinan timbulnya perbedaan pengertian mengenai panafsiran hukum yang terdapat didalam berbagai kitab agama, maka yang pertama lebih penting dari yang berikutnya. Kitab Manawa Dharmasastra II sloka 12 ini lebih menyederhanakan sloka 6, dengan meniadakan Sila, karena sila dan sadacara dipandang memiliki arti yang sama dengan kebiasaan. Sila artinya kebiasaan sedangkan sadacara artinya tradisi. Tradisi dan kebiasaan termasuk dalam kebiasaan pula.

Di dalam kitab suci Veda kita sering menjumpai beberapa istilah yang  dipergunakan untuk menyebutkan istilah hukum yang abadi, seperti Rta, Wrata dan dharman, di samping kebiasaan-kebiasaan abadi yang juga merupakan hukum yang bersumber pada Veda yaitu dharma atau dharman. Menurut sistim Hukum Hindu, para penulis hukum Hindu menyimpulkan bahwa ada empat macam masalah yang mencakup hukum itu, antara lain:

1.      Mengenai kekuasaan atau kompetensi hukum dan kebiasaan.
2.      Mengenai asal-usul tertib sosial.
3.      Mengenai wewenang penguasa yang berkuasa yang juga menyangkut kopetensi relatif.
4.      Mengenai kedudukan penguasa rohani dan hubungannya dengan  penguasa negara dengan menonjolkan sifat-sifat imunitas kedua jenis penguasa itu, yaitu Brahmana dan Raja atau Presiden sebagai kepala negara.

Terkait dengan sifat kekuasaan hukum atas kehidupan seseorang telah dikembangkan secara sistematis pada zaman Veda. Pemmbagian kelompok kerja berdasarkan spesialisasi telah pula mulai dikemas sejak zaman Veda dengan memperkenalkan konsep masyarakat ideal dengan mengelompokkan anggota-anggota masyarakat berdasarkan kelompok-kelompok ahli yang lebih dikenal dengan istilah “catur varna” yang kemudian berkembang menjadi konsep “kasta. Kejadian seperti ini tentu tidak terlepas dari hegemoni kaum Brahmana pada zaman Brahmana. Hal semacam ini perlu kita renungkan dan sikapi dengan bijak. Konsep “kasta” inilah yang kemudian merombak sikap pandangan para penulis terdahulu “warna” menjadi bentuk kelompok berdasarkan kelahiran “geneotis atau jati”, dan sekaligus mengaburkan arti-istilah fungsionalisasinya menjadi status sosial berdasarkan keturunan. Perubahan pandangan seperti itu nampaknya tidak dapat dihindari lagi, karena disamping masalah komunikasi yang sulit, juga kesulitan bahasa telah memungkinkan timbulnya golongan elit tertentu untuk menggunakan fungsinya lebih menonjolkan arti dan istilah jati (kelahiran) menjadi konsep-konsep ‘kasta’ yang menyempit dan kaku. Dengan demikian akhirnya munculah konsep-konsep sosial baru yang merubah pola berpikir orde sosial berdasarkan Veda menjadi orde sosial berdasarkan versi brahmanaisme.

Salah satu sumber hukum yang merupakan landasan ideal dari model-model pembentukan lembaga sosial berdasarkan Veda, bersumber pada kitab suci Rg Veda mandala X yang dikenal dengan istilah “Purusa Sukta”. Dari ayat kitab ini kita dapat mengenal fungsionalisasi sosial masyarakat yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam kelompok kerja yang profesional, antara lain: Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra. Uraian tentang konsep social ini ternyata diulangi lagi didalam kitab Atharwa Veda dengan bermacam-macam implikasinya serta memasukkan teori-teori baru yang bersendikan ajaran teokrasi secara lebih intensif dan extensif. Melalui kemajuan teori baru berdasarkan konsep-konsep teokrasi tampak kepada kita adanya tiga jalur pertumbuhan dan perkembangan ideology yang akan merubah nilai-nilai sosial dalam sejarah manusia dan kemanusiaan (Hindu), yaitu:

1)      Pemahaman tentang orde sosial.
2)      Pemahaman tentang asal-usul penguasa negara.
3)      Penegasan tentang hubungan antara dua jenis kekuasaan di dalam negara yaitu kekuasaan kelompok agama dan penguasa negara.

Ciri pokok dari pada pertumbuhan pemahaman orde sosial itu ialah munculnya kesadaran-kesadaran baru yang menyadari kekuasaan hukum terhadap individu serta kesatuan-kesatuan unit sosial masyarakat yang pengaturan selanjutnya didasarkan atas kehendak Tuhan. Kehendak beliau tersebut dituangkan dalam bentuk hukum abadi dan kekuasaan adat kebiasaan dari orang-orang suci. Pandangan tentang nilai-nilai sosial mengalami perubahan secara evolusi oleh kelompok kedua penguasa itu dalam wujud hukum yang disebut “dharma”. Tentang asal-usul penguasa negara sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci Veda, yang disimpulkan dari ayat Purusa Sukta X.90 dan Rg Veda X.173, melukiskan bagaimana penyair itu berdoa agar raja atau penguasa untuk menertibkan penduduk negara dan membayar pajak untuk negara. Untuk memberikan bentuk kekuatan kepada raja atau penguasa dalam negara teokrasi, raja dipersamakan sebagaimana halnya Deva Indra terhadap deva-deva lainnya. Demikian pulalah halnya raja terhadap penduduk negara sehingga raja dianggap sekutu dari Deva Indra (Indrasakha). Pada umumnya lembaga kerajaan yang bersifat teokrasi itu tidaklah statis, karena sebagai lembaga penguasa. Dalam bentuk negara kerajaan itu sifat-sifat teokrasinya lebih menonjol dari pada bentuk negara republik. Raja sebagai pembuat hukum atau bertindak sebagai yudikatif. Walaupun kedudukan raja sedemikian penting tetapi kecenderungan untuk pembagian kekuasaan telah nampak pula dalam kitab Veda dengan tidak mengharuskan raja secara pribadi memutuskan segala macam sengketa yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu timbulah lembaga yudikatif dalam bentuk Parisada dan kemudian pada bentuk Peradilan Kerta, ini menunjukkan bagaimana evolusi sejarah pertumbuhan Hukum Hindu secara umum. Peninjauan tentang sumber Hukum Hindu dapat kita lihat dalam berbagai segi. Peninjauan seperti ini dibenarkan berdasarkan ilmu hukum, mengingat pengertian sumber hukum itu sendiri belum ada persamaan secara utuh dan menyeluruh.

L. Oppenheim mengemukakan bahwa masalah sumber hukum itu dilihatnya dari arti kata, yakni kata sumber yang oleh beliau menyebutnya “source”. Menurut Oppenheim di dalam bukunya yang berjudul International Law A Treatire I, mengemukakan bahwa sumber yang dimaksud adalah asal darimana kaedah-kaedah itu bertumbuhan dan berkembang. Pengertian ini dibandingkan sebagai mata air yang mempunyai berbagai anak sungai dari mana air-air sungai itu berasal dan akhirnya sampai ke tempat tujuan (Puja, Gde. 1984:79). Selanjutnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, peninjauan sumber Hukum Hindu dapat dilakukan melalui berbagai macam kemungkinan antara lain:

1.      Sumber Hukum dalam Arti Sejarah

Sumber hukum dalam arti sejarah adalah peninjauan dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan meninjau pertumbuhan suatu bangsa terutama di bidang politik, sosial, kebudayaan, hukum dan lain-lain, termasuk berbagai lembaga negara. Bukti-bukti pengaruh hukum Hindu di Indonesia dapat ditemukan dalam catatan-catatan, seperti Siwasasana dan Kuttaramanawa. Sumber Hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber Hukum Hindu yang dipergunakan oleh para ahli Hindulogi dalam peninjauan dan penulisannya mengenai pertumbuhan serta kejadian Hukum Hindu itu terutama dalam rangka pengamatan dan peninjauan masalah aspek politik, filosofis, sosiologi, kebudayaan dan hukumnya sampai pada bentuk materiil yang tampak berlaku pada satu masa dan tempat tertentu. Peninjauan Hukum Hindu secara historis ditujukan pada penelitian data mengenai berlakunya kaidah-kaidah hukum berdasarkan dokumen tertulis yang ada. Penekanan disini harus pada dokumen tertulis karena pengertian sejarah dan bukan sejarah adalah terbatas, pada bukti tertulis. Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis (Pra Sejarah), tidak bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang didalam Hukum Hindu disebut Acara. Kemungkinan kaidah-kaidah yang berasal dari pra-sejarah ditulis dalam zaman sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses pertumbuhan sejarah hukum dari satu phase ke phase yang baru. Dari pengertian sumber hukum tertulis, peninjauan sumber Hukum Hindu dapat dilihat berdasarkan penemuan dokumen yang dapat kita baca dengan melihat secara umum dan otensitasnya. Menurut bukti-bukti sejarah, dokumen tertua yang memuat pokok-pokok Hukum Hindu, untuk pertama kalinya kita jumpai di dalam Veda yang dikenal dengan nama Sruti. Kitab Veda Sruti tertua adalah kitab Reg Veda yang diduga mulai ada pada tahun 2000 SM. Kita harus bisa membedakan antara phase turunnya wahyu (Sruti) dengan phase penulisannya. Saat penulisannya itu merupakan phase baru dalam sejarah Hukum Hindu dan diperkirakan telah dimulai pada abad ke X SM. Berdasarkan penemuan huruf yang mulai dikenal dan banyak dipakai pada zaman itu. Sejak tahun 2000 SM – 1000 SM, ajaran hukum yang ada masih bersifat tradisional dimana isi seluruh kitab suci Veda itu disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi yang baru. Sementara itu jumlah kaidah-kaidah itu berkembang dan bertambah banyak. Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula timbul dan berkembang pada jaman Smrti. Dalam zaman ini terdapat Yajur Veda, Atharwa Veda dan Sama Veda. Kemudian dikembangkan pula kitab Brahmana dan Aranyaka. Semua kitab-kitab yang dimaksud adalah merupakan dokumen tertulis yang memuat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada zaman itu. Phase berikutnya dalam sejarah pertumbuhan sumber Hukum Hindu adalah adanya kitab Dharmasastra yang merupakan kitab undang-undang murni bila dibandingkan dengan kitab Sruti. Kitab ini dikenal dengan nama kitab smrti, yang memiliki jenis-jenis buku dalam jumlah yang banyak dan mulai berkembang sejak abad ke X SM. Di dalam buku-buku ini pula kita dapat mengetahui keterangan tentang berbagai macam cabang ilmu dalam bentuk kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan sebagai landasan pola pikir dan berbuat dalam kehidupan ini. Kitab smrti ini dikelompokkan menjadi enam jenis yang dikenal dengan istilah Sad Vedangga. Dalam kaitannya dengan hukum yang terpenting dari Sad Vedangga tersebut adalah dharma sastra (Ilmu Hukum). Kitab dharma sastra menurut bentuk penulisannya dapat dibedakan menjadi dua macam, antara lain:

1.      Sutra, yaitu bentuk penulisan yang amat singkat yakni semacam aphorisme.

2.      Sastra, yaitu bentuk penulisan yang berupa uraian-uraian panjang atau lebih terinci.

Di antara kedua bentuk tersebut diatas, bentuk sutra dipandang lebih tua waktu penulisannya yakni disekitar kurang lebih tahun 1000 SM. Sedangkan bentuk sastra kemungkinannya ditulis disekitar abad ke VI SM. Kitab smrti merupakan sumber hukum baru yang menambahkan jumlah kaidah-kaidah hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindu. Disamping kitab-kitab tersebut diatas yang dipergunakan sebagai sumber hukum Hindu, juga diberlakukan adat-istiadat. Hal ini merupakan langkah maju dalam perkembangan Hukum Hindu.

Menurut catatan sejarah perkembangan Hukum Hindu, periode berlakunya hukum tersebut pun dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:

1.      Pada zaman Krta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Manu.

2.      Pada zaman Treta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Gautama.

3.      Pada zaman Dwapara Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra yang ditulis oleh Samkhalikhita.

4.      Pada zaman Kali Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Parasara.

Keempat bentuk kitab Dharmasastra di atas, sangat penting kita ketahui dalam hubungannya dengan perjalanan sejarah Hukum Hindu. Hal ini patut kita camkan mengingat Agama Hindu bersifat universal, yang berarti kitab Manawa Dharmasatra yang berlaku pada zaman Kali Yuga juga dapat berlaku pada zaman Trata Yuga, demikian juga sebaliknya.

2.      Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sosiologi.

Penggunaan sumber hukum ini biasanya dipergunakan oleh para sosiolog dalam menyusun thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat dari keadaan ekonomi masyarakat pada zaman-zaman sebelumnya. Sumber hukum ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ditunjang oleh data sejarah dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak bersifat murni berdasarkan ilmu sosial semata melainkan memerlukan ilmu bantu lainnya. Masyarakat adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang mempunyai hubungan, baik hubungan agama, budaya, bahasa, suku, darah dan yang lainnya. Hubungan diantara mereka telah mempunyai aturan yang melembaga, baik berdasarkan tradisi maupun pengaruh-pengaruh baru lainnya yang dating kemudian. Pemikiran tentang berbagai kaidah hukum tidak terlepas dari pandangan-pandangan masyarakat setempat. Terlebih pada umumnya hukum itu bersifat dinamis, maka peranan para pemikir, orang-orang tua, lembaga desa, Parisada dan lembaga yang lainnya turut juga mewarnai perkembangan hukum yang dimaksud. Didalam mempelajari data-data tertentu yang bersumber pada kitab Veda, kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan sebagai berikut:

“Idanim   dharma pramananya ha, wedo’khilo dharmamulam smrtisile ca tadwidam, acarassaiwa sadhunam atmanastustirewa ca”.

Terjemahan:

Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada dharma, kemudian adat-istiadat, dan lalu tingkah-laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami Veda, juga kebiasaan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri-sendiri (Manawa Dharmasastra, II.6).

Kitab suci tersebut di atas secara tegas menyatakan bahwa, sumber hukum (dharma) bukan saja hanya kitab-kitab sruti dan smrti, melainkan juga termasuk sila (tingkah laku orang-orang beradab), acara (adat-istiadat atau kebiasaan setempat) dan atmanastusti yaitu segala sesuatu yang memberikan kebahagiaan pada diri sendiri. Oleh karena aspek sosiologi tidak hanya sebatas mempelajari bentuk masyarakat tetapi juga kebiasaan dan moral yang berkembang dalam masyarakat setempat. Sesungguhnya masih banyak lagi sloka-sloka suci Veda yang menekankan betapa pentingnya Veda, baik sebagai ilmu maupun sebagai alat di dalam membina masayarakat. Karena itu Veda bersifat obligator baik untuk dihayati, diamalkan, dan maupun sebagai ilmu. Inilah yang menjadi hakikat dan tujuan dari pada menyebaran Veda itu, seiring dengan tuntutan memperoleh pengetahuan dewasa ini yakni dengan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta atau mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta sesuai dengan tatanan yang berlaku.

3.      Sumber Hukum Hindu dalam arti Formal

Yang dimaksud dengan sumber hukum dalam arti formal menurut Mr.J.L.Van Aveldoorm adalah sumber hukum yang berdasarkan bentuknya dapat menimbulkan hukum positif, artinya sumber hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga yang berwenang. Yang termasuk sumber hukum dalam arti formal dan bersifat pasti yaitu; Undang-undang, Kebiasaan dan adat, serta Traktat (Puja, Gde. 1984:85). Di samping sumber-sumber hukum yang disebutkan di atas, ada juga penunjukan sumber hukum dengan menambahkan kata yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum. Dengan demikian dapat kita lihat susunan sumber hukum dalam arti formil sebagai berikut:

a.       Undang-undang.

b.      Kebiasaan dan adat.

c.       Traktat

d.      Yurisprudensi

e.       Pendapat ahli hukum yang terkenal.

Sistematika susunan sumber hukum seperti tersebut di atas ini, dianut pula dalam hukum Internasional sebagai tertera dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional dengan menambahkan azas-azas umum hukum yang diakui oleh berbagai bangsa yang beradab sebagai sumber hukum juga. Dengan demikian, terdapat susunan hukum sebagai berikut:

a.       Traktat Internasional yang kedudukannya sama dengan undang-undang terhadap negara itu.

b.      Kebiasaan Internasional.

c.       Azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.

d.      Keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara.

e.       Ajaran-ajaran yang dipublikasikan oleh para ahli dari berbagai negara hukum tersebut sebagai alat tambahan dalam bidang pengetahuan hukum.

Sistem dan azas yang dipergunakan mengenai sumber hukum terdapat pula dalam kitab Veda, sebagaimana tersurat dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa “seluruh pustaka suci Veda (sruti) merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu), kemudian barulah smrti di samping sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Veda) dan kemudian acara (tradisi-tradisi dari orang-orang suci) serta akhirnya atmanastuti yakni rasa puas diri sendiri”.

Bila keberadaan kitab-kitab ini kita bandingkan dengan kitab-kitab perundang-undangan, maka sruti adalah undang-undang dasar itu, karena sruti merupakan sumber atau asal dari segala aturan (sumber dari segala sumber hukum). Sedangkan smrti merupakan peraturan-peraturan atau ajaran-ajaran yang dibuat bersumberkan pada sruti. Oleh karena itu, dalam perundang-undangan smrti disamakan dengan undang-undang, baik undang-undang organik maupun undang-undang anorganik. Sila merupakan tingkah laku orang-orang beradab, dalam kaitannya dengan hukum, sila adalah menjadikan tingkah laku orang-orang beradab sebagai contoh dalam kehidupan. Sedangkan acarya adalah adat-istiadat yang hidup dalam masyarakat yang merupakan hukum positif. Atmanastuti adalah rasa puas pada diri. Rasa puas merupakan ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia. Oleh karena itu, rasa puas tersebut harus diukur atas dasar kepentingan publik. Penunjukan rasa puas secara umum tidak dapat dibuat tanpa pelembagaannya. Veda mempergunakan sistem kemajelisan sebagai dasar ukuran untuk dapat mewujudkan rasa puas tersebut. Majelis Parisada adalah majelis para ahli yang disebut para wipra (brahmana) ahli dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.

4.       Sumber Hukum Hindu dalam arti Filsafat

Filsafat merupakan dasar pembentukan kaidah-kaidah hukum itu sendiri. Sumber hukum ini dapat bersumber dari banyak sumber dan luas, karena isi sumber hukum ini meliputi seluruh proses pembentukan sumber hukum sejak zaman dahulu hingga sekarang. Daya mengikat hukum ini terhadap para anggotanya tergantung pada sifat dan bentuk kaidah-kaidah hukum ini, apakah bersifat normatif. Sumber hukum dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan atau integral dari agama. Filsafat adalah ilmu pikir, yang merupakan fleksibilitas rasional ke dalam sifat kebenaran, dan memberikan pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang kurang tampak dari kehidupan ini, dimana ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian.

Berfilsafat bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui masalah-masalah transendental ketika ia berada dalam perenungan tentang hakikat kehidupan itu sendiri. Filsafat membimbing manusia tidak saja menjadi pandai tetapi juga menuntun manusia untuk mencapai tujuan hidup, yaitu jagadhita dan moksa. Untuk dapat hidup bahagia, baik di dunia maupun di akhirat diperlukan adanya keharmonisan hidup. Hal ini, bisa diajarkan dan diberikan filsafat. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu ilmu filsafat Hindu menegaskan sistem dan metode pelaksanaannya sebagai berikut:

a.       Harus berdasarkan pada dharma

b.      Harus diusahakan melalui keilmuan (Jnana)

c.       Hukum didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)

d.      Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan pengendalian; pikiran, ucapan, dan perilaku

e.       Harus ditebus dengan usaha prayascita atau penyucian (Puja, Gde. 1984:84).

Filsafat Hindu mengajarkan sistem dan metode penyampaian buah pikiran. Logika dan pragmatisme guna mendapatkan kebenaran ilmu (pramana) yang disebut satya. Kita harus menyadari bahwa hukum itu menyangkut berbagai bidang, oleh sebab itu, filsafat sangat diperlukan untuk menyusun hipotesis hukum. Bahkan boleh dikatakan filsafat menduduki kedudukan yang amat penting di dalam ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”. Agama bukan hanya mengajarkan bagaimana manusia menyembah Tuhan, tetapi juga memuat tentang; filsafat, hukum, dan lain-lain. Manawa Dharmasastra adalah kitab suci Agama Hindu, yang memuat berbagai masalah hukum dilihat dari sistem kefilsafatannya, sosiologinya, dan bahkan dari aspek politik. Mengingat masalah hukum tersebut menyangkut berbagai bidang yang sangat luas, maka tidak akan terelakkan betapa pentingnya arti filsafat dalam menyusun suatu hipotesa hukum, bahkan filsafat menduduki tempat yang terpenting dalam ilmu hukum yang dituangkan dalam suatu cabang ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”.

5.       Sumber Hukum menurut Veda

Dalam sloka II.6 kitab Manawadharmasastra ditegaskan bahwa, yang menjadi sumber hukum umat sedharma “Hindu” berturut-turut sesuai urutan adalah sebagai berikut:

1)      Sruti

2)      Smrti

3)      Sila

Sila berarti tingkah laku, susila berarti tingkah laku orang-orang yang baik atau suci. Tingkah laku tersebut meliputi pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci. Pada umumnya tingkah laku para maharsi dijadikan standar penilaian yang patut ditauladani. Kaidah-kaidah tingkah laku yang baik tersebut tidak tertulis di dalam Smrti, sehingga sila tidak dapat diartikan sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya, walaupun nilai-nilainya dijadikan sebagai dasar dalam hukum positif.

4)      Sadacara

Sadacara dipandang sebagai sumber hukum Hindu positif. Dalam bahasa Jawa Kuno Sadacara disebut dåûta yang berarti kebiasaan. Untuk memahami pemikiran hukum Sadacara ini, maka hakikat dasar Sadacara adalah penerimaan Drsta sebagai hukum yang telah ada di tempat mana Hindu itu berkembang. Dengan demikian sifat hukum Hindu adalah fleksibel.

5)      Atmanastuti (Pudja dan Sudharta, 2004:31).

Atmanastuti artinya rasa puas pada diri sendiri. Perasaan ini dijadikan ukuran untuk suatu hukum, karena setiap keputusan atau tingkah laku seseorang mempunyai akibat. Atmanastuti dinilai sangat relatif dan subyektif, oleh karena itu berdasarkan Manawadharmasastra II.109 dan 115 menjelaskan bahwa; bila memutuskan kaidah-kaidah hukum yang masih diragukan kebenarannya, keputusan diserahkan kepada majelis yang terdiri dari para ahli dalam bidang kitab suci dan logika agar keputusan yang dilakukan dapat menjamin rasa keadilan dan kepuasan yang menerimanya.

P.N. Sen, dan G.C. Sangkar, menyatakan bahwa sumber-sumber hukum Hindu berdasarkan ilmu dan tradisi adalah:

1)      Sruti

2)      Smrti

3)      Sila

4)      Sadacara

5)      Atmanastuti

6)      Nibanda

Nibanda adalah nama kelompok buku atau tulisan yang dibuat oleh para ahli pada zaman dahulu yang isinya bersifat pembahasan atau kritik terhadap materi hukum yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Nibanda merupakan kitab yang berisi kritikan, gubahan-gubahan baru dengan komentar yang memberikan pandangan tertentu terhadap suatu hal yang telah dibicarakan. Nibanda dijadikan pedoman dalam memberikan definisi dari suatu hukum atau tingkah laku sosial antar umat beragama Hindu. Istilah lain Nibanda adalah Bhasya yaitu jenis-jenis rontal yang membahas pandangan tertentu yang telah ada sebelumnya, dengan demikian Kuttaramanawa, Manusasana, Putrasasana, Rsisasana dan lain-lain, semuanya termasuk ke dalam kelompok Nibandha.

Selanjutnya mengenai Veda sebagai sumber hukum utama, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Manawadharmasastra II.6 bahwa; seluruh Veda sumber utama dari pada hukum, kemudian barulah smrti dan tingkah laku orang-orang baik, kebiasaan dan atmanastuti. Smrti bersifat pengkhususan yang memuat penjelasan yang bersifat autentik, penafsiran dan penjelasan ini menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun dalam satu buku yang disebut Dharmasastra. Dari semua jenis kitab Smrti yang terpenting adalah kitab Dharmasastra, karena kitab inilah yang merupakan kitab Hukum Hindu. Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra antara lain:

1) Manu

2) Apastambha

3) Baudhayana

4) Wasistha

5) Sankha Likhita

6) Yanjawalkya

7) Parasara

Dari ketujuh penulis tersebut, Manu yang terbanyak menulis buku dan dianggap sebagai standar dari penulisan Hukum Hindu itu.

3.      Sloka Kitab Suci Yang Menjelaskan Hukum Hindu

“Yaá pàvamànir adhyeti

åûibhiá saý bhåaý rasam.

sarvaý sa pùtam aúnati

svaditaý màtariúvanà”

Terjemahan:

“Dia yang menyerap (memasukkan ke dalam pikiran) melalui pelajaran-pelajaran pemurnian intisari mantra-mantra Veda yang diungkapkan kepada para rsi menikmati semua tujuan yang sepenuhnya dimurnikan yang dibuat manis oleh Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi napas hidup semesta alam (Ågveda IX.67.31).

“Iyam te rad yantasi yamano

dhruvo-asi dharunah.

kryai tva ksemaya tva

rayyai tva posaya tva”.

Terjemahan:

Wahai pemimpin, itu adalah negara mu, engkau pengawasnya. Engkau mawas diri, teguh hati dan pendukung warga negara. Kami mendekat padamu demi perkembangan pertanian, esejahteraan manusia, kemakmuran yang melimpah” (Yajurveda IX.22).

“Ahaý gåbhóàmi manasà manàýsi

mama cittam anu cittebhir eta.

mama vaseûu hrdayàni vah krnomi,

mama yàtam anuvartmàna eta”.

Terjemahan:

“Wahai para prajurit, Aku pegang (samakan) pikiranmu dengan pemikiran-Ku. Semoga anda semua mengikuti aku menyesuaikan pikiran mu dengan pikiran-ku. Aku tawan hatimu. Temanilah aku dengan mengikuti jalan-Ku, (Atharvaveda, VI.94.2).

“Kàmàtmatà na praúasta

na caiwe hàstya kàmatà,

kàmyo hi wedàdhigamaá

karmayogasca waidikaá”

Terjemahan:

Berbuat hanya karena nafsu untuk memperoleh phala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa keinginan akan phala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber dari mempelajari Veda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Veda (Manawa Dharmasastra, II.2).

“Yo’ varnanyeta te mùle

hetu úàstràúrayad dvijaá,

sa sàdhubhir bahiûkàryo

nàstiko vedanindakaá”.

Terjemahan:

Setiap dwijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan dengan memandang rendah kedua sumber hukum (Sruti dan Smrti) harus dijauhkan dari orang-orang bijak sebagai seorang atheis dan yang menentang Veda (Manawa Dharmasastra, II.11).

“Kitrúaá sisyo ‘dhyàpya ityàha;

àcàrya putrah úuúrusur

jnànado dharmika úuciá,

àptaá úakto rthadaá sàdhuá

svo ‘dhyàpyo daúa dharmataá”.

Terjemahan:

Menurut hukum suci, kesepuluh macam orang-orang berikutnya adalah putra guru yaitu ia yang berniat melakukan pengabdiannya, ia yang memberikan pengetahuan, orang yang sepenuh hatinya mentaati UU, orang yang suci, orang yang berhubungan karena perkawinan atau persaudaraan orang yang memiliki kemampuan rohani, orang yang menghadiahkan uang, orang yang jujur dan keluarga (mereka) dapat mempelajari Veda (Manawa Dharmasastra, II.109).

“Doûair etaiá kula-ghnànàý

varna-saókara-kàrakaih,

utsàdyante jàti-dharmàá

kula-dharmàú ca úàúvatàá”.

Terjemahan:

Karena dosa dan kehancuran keluarga ini membawa keruntuhan bagi hukum golongan (varna dharma), kebiasaan keluarga dan hukum keluarga hancur untuk selama-lamanya, (Bhagawadgìtà, I.43).

“Yadà yadà hi dharmasya

glànir bhavati bhàrata,

abhyutthànam adharmasya

tadàtmànam srjàmy aham”.

Terjemahan:

Sesungguhnya manakala dharma berkurang kekuasaannya dan tirani hendak merajalela, wahai arjuna, saat itu aku ciptakan diriku sendiri, (Bhagawadgìtà, IV.7).

“Çrutyuktaá paramo dharmastathà smrti gato ‘parah,

Çistàcàrah parah proktasrayo dharmàá sanàtanàá.

Kunang kengetakena, sassing kajar de sang hyang çruti dharma ngaranika,

sakajar de sang hyang smrti kuneng dharma ta ngaranika, çistacara kunang,

acaranika sang çista, dharma ngaranika, sista ngaran sang hyang satyawadi,

sang apta, sang patisthan, sang panadahan upa deça sangksepa ika katiga,

dharma ngaranira.

Terjemahan:

Adapun yang patut untuk diingat-ingat, semua apa yang diajarkan oleh Çruti disebut dharma, semua yang diajarkan oleh Smrti pun dharma namanya, demikian pula tingkah laku orang çista disebut dharma, yang disebut çista adalah yang berkata-kata benar, orang yang dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat pensucian, orang yang menjadi tempat menerima ajaran kerohanian, singkatnya ketiganya itu, dharma namanya, (Sarasamuçcaya, 40)

“Çruyatàm dharmasàswam

çrutwà çaiwopadhàryatàm,

atmanah pratikùlani na

paresàm samàcara.

Matangnyan rengo sarwadàya, paramàrtha ning sinangguh dharma telas rinengonta çupwanantà ta ri hati, ikang kadi ling mami ngùni wih, sasing tak kahyun yàwakta, yatika tanulahakenanta ring len.

Terjemahan:

Karena itu dengarkanlah segala upaya, makna yang dianggap dharma, setelah engkau mendengarnya, camkan itu baik-baik di hati, sebagai mana yang telah saya katakan sebelumnya, segala sesuatu yang tidak berkenan di hatimu, yang itu janganlah hendaknya engkau lakukan kepada orang lain, (Sarasamuçcaya, 44).

4.      Hubungan Hukum Hindu dengan Budaya, Adat-Istiadat Dan Kearifan Daerah Setempat

 

Dalam berbagai penelitian dan penulisan Hukum Adat, baik dalam bidang hukum pidana, dalam bidang hukum perdata terutama hukum waris, hukum kekeluargaan dan perkawinan yang dikatakan hukum adat, semuanya ternyata hukum Hindu. Baik pengertian, istilah-istilah yang dipakai maupun dasar filosofinya delapan belas titel hukum atau astadasa wyawahara, pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidana adat seperti brahmantia, wakparusia, sahasa dan sebaginya. Semuanya merupakan hukum agama, ini berarti hukum Adat sebagian besar adalah hukum agama, yakni hukum adat itu sebagian besar adalah hukum agama Hindu (Pudja, 1997:34-35).

Dalam prakteknya di tengah masyarakat memang tampak gejala yang bertautan antara hukum Hindu dengan Hukum Adat. Kitab-kitab Hukum Hindu dalam bentuk kompilasi seperti; Adigama, Agama, Kutaragama, Purwadigama dan Kutara Manawa, memang amat sering dijadikan sumber penyusunan Hukum Adat. Hanya transfer ke dalam Hukum Adat tidak dilakukan sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum Hindu tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini para tetua adat sangat berperan sebagai tokoh yang bertugas khusus menyaring nilai-nilai hukum Hindu untuk diselaraskan kebutuhannya sesuai dengan sistem sosial yang berkembang di lingkungan sekitarnya.

Pelaksaan Hukum Hindu di dalamnya memuat tentang pembuktian menurut Hukum Hindu. Peninjauan pembuktian menurut hukum Hindu dapat kita kaji dalam berbagai peristiwa peradilan maupun dengan kekuatan pemerintah melalui lembaganya dalam mengadili suatu perkara. Hal ini dilakukan karena melalui proses peradilan dengan berdasarkan sastra dan kewenangan pemerintah dapat dipakai landasan untuk memperoleh suatu pembuktian terhadap pelanggaran. Menurut Dharmasastra, kekuasaan mengadili atau yudikatif dipegang oleh Raja. Dalam melaksanakan tugas yudikatif, Raja atau Kepala Eksekutif dapat bertindak sendiri atau dikatakan sebagai Hakim Tunggal (Dharmasastra. VIII. 1-10). Selain itu dapat diangkat badan peradilan yang bertugas sebagai hakim yang akan memutus perkara dari ahli kitab (veda) yang disebut Brahmana. Bentuk peradilan ini disebut dengan peradilan Brahmana atau dikenal dengan sebutan Hakim Majelis yang terdiri dari setidak-tidaknya tiga hakim anggota yang diangkat dan diberhentikan oleh Raja (Manu, VIII. 11). Pada dasarnya, adanya badan Yudikatif adalah untuk mengembalikan dharma atau menegakkan keadilan yang merupakan kebenaran Tuhan (Wrasa/bentenga) dan pelanggaraannya dinamakan Wrasada (yang dikucilkan).

Pengadilan dimulai setelah adanya gugat dan gugat timbul karena adanya pihak yang dirugikan. Pemanggilan dilakukan oleh hakim atau raja atau pengadilan yang berwenang setelah adanya pengaduan. Dalam sastra, kita jumpai dua istilah penting, yaitu:

1)      Ahwana, yaitu pemanggilan yang bertujuan untuk memaksakan terdakwa datang di depan pengadilan. Pemanggilan dilakukan secara pemberian kabar (mudra), yaitu dengan mengirim utusan kepada terdakwa.
2)      Asedha/Asadha, yaitu tindak penuntut umum untuk melakukan penahanan dalam rangka pemanggilan supaya terdakwa tidak melarikan diri.

Gugatan atau tuntutan yang disampaikan kepada raja atau hakim menurut Yajnawalkya  dan Brihaspati harus benar-benar baik, karena jika tidak raja dapat menolaknya. Gugatan yang sempurna disebut bhasa sedangkan yang tidak sempurna dinamakan praksabhasa. Adapun yang dimaksud praksabhasai (Yajnawalkya, II.6), ialah:

1)      Bila gugatan itu bertentangan dengan pengalaman manusia (Aprasiddha)
2)      Isinya memuat kebenaran yang memerlukan penindakan (Nirawadha)
3)      Isinya tidak menghendaki penindakan (Nisprayojana)
4)      Isinya tidak mungkin untuk dapat dibuktikan (pura rastra wiruddha)
5)      Isinya bertentangan dengan kepentingan Negara (pura wiruddha)

Tertuduh setelah mendengar tuduhan yang disampaikan harus memberikan bantahan atau tangkisan (Uttara). Berbagai jenis tangkisan disebutakan dalam Kitab Katyayana Smrti, yaitu:

1)      Satya (benar)
2)      Mithya (palsu/tidak benar)
3)      Pratyawaskandana (pengakuan atau pengingkaran)
4)      Prangnyaya/ Res Judicata (tidak bertentangan dengan yang terdahulu)

Dengan menggabungkan gugatan dan jawaban, dalam jawab-menjawab (Uttara samkara), diharapkan kebenaran akan dapat ditemui. Keputusan (siddhi) dapat diberikan setelah mengadakan pendengaran (kriya) kepada kedua belah pihak. Keputusan tertulis yang diberikan dikenal dengan nama “Jaya ptra” yang isinya memuat pernyataan mengenai tuntutan atau gugatan dan pembelaan dalam tangkisan disertai bukti-bukti, diputus atas nama keadilan dan Sabhasada atau saksi-saksi yang hadir dalam sidang terbuka untuk umum.

Ditinjau dari segi pembuktian, Maharsi Yajnawalkya dalam tulisannya mengemukakan ada empat macam bukti, yaitu:

1)      Lekhya (bukti autentik atas tertulis)

Dianggap sebagai bukti paling kuat tidak hanya merupakan dokumen tertulis.

2)      Bhukti (bukti pemilihan atas materiil)

Alat pembuktian yang kuat pula, kecuali bukti ditolak maka diperlukan adanya bukti lainnya seperti saksi.

3)      Saksi (bukti saksi)

Menurut Bhagawan Manu, dalam pembuktian menggunakan saksi, Bab VIII 60-71, ditetapkan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:

a.       Setidak-tidaknya harus diketengahkan tiga saksi.

b.      Saksi harus telah berumah tangga (dewasa).

c.       Saksi diberikan oleh para pihak.

d.      Saksi harus bebas dari lobha.

4)      Diwya (bukti sumpah)

Diwya asal mulanya merupakan kesaksisan dewa-dewa, yaitu meminta kesaksian dari dewa atas pembuktian yang disampaikan dalam perkara itu. Pelaksanaan diwya dipraktekan dalam bentuk sumpah dengan meminta kekuatan:

1)      Tula

Sumpah menurut sistem Tula (timbangan), dimana yang disumpah ditimbang dengan pemberat lainnya.

2)      Agni

Sumpah menurut Agni, yang disumpah dites dengan api, bila terbakar dianggap bersalah.

3)      Apah

Apah atau sumpah dengan air, yang ditenggelamkan ke dalam air untuk beberapa waktu, bila dapat bertahan atau hidup dianggap tidak bersalah.

4)      Wisa atau kosa

Wisa atau sumpah dengan racun, dalam bahasa Bali dikenal dengan nama Mecor atau disumpah dengan minum racun, bila hidup berarti tidak bersalah. Sedangkan kosa adalah sumpah semacam wisa hanya saja tidak beracun, melainkan dengan memakai air bekas pembersih arca atau keris yang telah dimantrai kemudian dimandikan dan diminum tiga teguk, apabila tidak mempunyai akibat apa-apa dalam beberapa waktu yang lama dianggap tidak salah.

Dewasa ini bentuk sumpah yang lebih ringan adalah jenis sumpah bentuk separtha, yaitu sumpah hanya dalam bentuk kata-kata, misalnya: kalau benar saya bersalah supaya tidak selamat, supaya tidak bahagia atau sebagainya.

Tim Peneliti Universitas Udayana Denpasar dalam penelitiannya tentang pengaruh agama Hindu terhadap hukum pidana adat di Bali, menunjukkan adanya pengaruh hukum Hindu dalam jenis pelanggaran susila ini atau dikenal dengan Delik Adat yang Menyangkut Kesusilaan (Tim Peneliti Universitas Udayana Denpasar, 1975 : 47):

1.      Lokika Sanggraha adalah suatu bentuk delik adat dimana seorang laki-laki belum kawin mengadakan hubungan sex dengan seorang perempuan yang belum kawin atas dasar suka sama suka dengan janji untuk dikawini yang kemudian menyebabkan wanita tersebut hamil, akan tetapi ternyata si laki-laki tersebut tidak menikahinya.
2.      Amandel Sanggama adalah suatu bentuk perbuatan dimana seorang istri meninggalkan suaminya yang masih dalam status ikatan perkawinan.
3.      Gamia Gamana adalah suatu bentuk larangan terhadap hubungan sexual yang dilakukan antara mereka yang mempunyai hubungan darah dekat, seperti halnya seorang lelaki yang berhubungan badan dengan anak atau keponakannya.
4.      Salah karma adalah bentuk delik adat yang berupa hubungan sexual antara manusia dengan binatang.
5.      Drati-krama adalah suatu bentuk delik adat yang berupa hubungan sexual antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah bersuami.
6.      Wakparusya adalah mengeluarkan kata-kata kotor yang ditujukan kepada seseorang.
7.      Mamitra ngalang adalah suatu delik yang berupa seorang laki-laki yang sudah beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir batin seperti layaknya suami-istri, tetapi wanita ini belum resmi dinikahi. Hubungan mereka bersifat terus-menerus dan biasanya si wanita di tempatkan dalam suatu rumah tersendiri. Delik ini hampir sama dengan drati krama, tetapi tititk berat pelakunya adalah laki-laki yang sudah beristri sedang pihak wanita tidak terikat perkawinan dan hubungannya secara terus-menerus. Sedangkan wanita dalam drati krama masih bersuami yang sah.
8.      Pembongkaran kuburan, yaitu dimana pembongkaran ini sering bermotif jahat, misalnya untuk mengambil mayat orang yang ditanam atau mengambil benda berharga yang ikut tertanam dengan mayat tersebut.
9.      Kumpul kebo ialah seorang laki-laki dengan seorang wanita hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mengadakan hubungan sexual, seperti layaknya suami-istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan yang sah.

Delik Adat yang Menyangkut Harta Benda diatur dalam Awig-awig Desa Adat, secara garis besarnya dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni:

1)      Delik pencurian diatur dalam 24% dan awig-awig desa adat yang ada;
2)      Delik adat pencurian benda suci diatur dalam 41% awig-awig desa adat;

Benda-benda suci menurut besar kecil nilai kesuciannya dapat dibagai menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1.      Pralingga-pralingga yang dibuat khusus untuk melambangkan Sang Hyang Widhi Wasa yang wujudnya seperti pewayangan yang disesuaikan manifestasinya.

2.      Tapakan-tapakan seperti misalnya barong, rangda dan lain sebagainya yang dibuat dengan tujuan supaya dijiwai oleh ista dewata yang mempunyai kekuatan gaib supaya jangan mengganggu alam semesta.

3.      Alat-alat upacara, yaitu semua alat yang khusus dipakai alam upacara keagamaan saja, misalnya kaun lelancingan, umbul-umbul dan lain-lain.

3)      Delik adat merusak benda suci terdapat dalam 18% awig-awig desa adat.

Delik Adat yang Melanggar Kepentingan Pribadi, meliputi mengucapkan kata-kata kotor atau mencaci seseorang (memisuh), memfitnah (mapisuna) orang lain, menipu atau berbohong (memauk/mogbog) yang menimbulkan kerugian pada orang lain, menuduh orang lain tanpa bukti yang jelas (menuduh bias “ngeleak”/menyakiti orang lain) dan sebagainya. Delik Adat karena Kelalaian atau Tidak Menjalankan Kewajiban, misalnya lalai atau tidak melakukan kewajiban sebagai warga/karma desa adat, seperti tidak melaksanakan kewajiban “nyahan” desa, tidak hadir dalam rapat (paruman) desa, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran (papeson) untuk kepentingan upacara atau pembangunan dan lain-lain.

Semua jenis hukum adat tersebut (pokok-pokok ajaran mengenai acara dalam Kitab Dharmasastra VII. 1-118) pernah diterapkan dalam peradilan Kerta di Bali semasa jaman penjajahan Hindu Belanda di Indonesia walaupun dengan sedikit variasi. Dari keputusan-keputusan raad van kerta kita mendapatkan kesimpulan bahwa bentuk hukum perdata, terutama hukum waris dan perkawinan menempati skala pelanggaran terbesar dibandingkan bentuk hukum lainnya. Apabila skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat ditinjau secara makro, maka kita harus bertolak pada tiga hal pokok yang dipakai tumpuan memahami eksistensi hukum adat Bali secara lebih mendasar. Ketiga hal pokok itu adalah Tri Hita Karana, yakni adanya upaya umum masyarakat itu sendiri. Upaya menegakkan keseimbangan hubungan masyarakat secara keseluruhan dengan alam Ketuhanan.

Berbagai pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat sebagaimana contoh yang dikedepankan di atas, menunjukkan skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat pada dimensi “Pawongan” dan ”palemahan”. Adanya pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hukum adat itu tidak ada. Gde Pudja mengatakan, hukum adat haruslah tetap ada, sebagai kaidah yang asli pada masyarakat primer. Namun sejauh ini pembuktian untuk membedakan hukum adat dengan hukum Hindu, belum banyak dilakukan. Kalau ada, penulisan ini belum sampai melihat kemungkinan bahwa hukum itu bersumber pada Hukum Hindu. (Pudja, 1977:34).

 

Sumber:

  • Lestawi, I Nengah dan I Made Wirahadi Kusuma. 2015. Hukum Hindu. Denpasar: Kementerian Agama RI Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
  • Tim Penyusun. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB II YAJÑA DALAM MAHABHARATA

                                 YAJÑA DALAM MAHABHARATA I.             Pengertian dan Hakikat Yajña Menurut etimologi kata Yajña berasa...